Part 23 - Persami (3)

 #Parade_Cernak_Baswara

PERSAMI (3)

Setelah kejadian semalam, regu kami lebih memilih untuk diam dan berhati-hati dalam berucap. Selama ini yang kami tonton di televisi, ternyata bukan hal yang bagus, jika materi yang digunakan untuk stand up adalah hal-hal yang menyinggung perasaan orang lain.
Acara stand up merupakan acara hiburan bagi keluargaku. Aku tidak menyangka hal-hal yang lucu tersebut bisa saja melukai hati orang lain.
“Kalian tahu, sengaja berbohong untuk membuat lucu-lucuan supaya orang lain yang mendengar ikut tertawa saja sudah salah, apalagi ini? Sengaja menyinggung orang lain, bahkan kadang membuka aib orang lain, jelas itu salah, Anak-anak!” terang Pak Rahmat.
Semua anak terdiam dan merenungi apa yang baru saja dilakukan.
“Sayang, maafkan Bapak, ya. Sudah sewajarnya Bapak menegur kalian agar tidak melakukan kesalahan yang lebih fatal dikemudian hari.”
Pak Rahmat memeluk Dirga.
“Dua kali tepuk pramuka!” ucap Pak Erik.
Suasa langsung meriah dengan tepuk pramuka yang dilakukan oleh semua peserta kemah.
“Terima kasih, anak-anakku. Kakak anggap, kalian sudah paham dengan maksud Kak Rahmat, ya.”
Oh iya, aku baru ingat, dalam kegiatan pramuka tidak ada panggilan bapak atau ibu, melainkan kakak, karena sekarang kami ada di tingkatan penggalang.
Penampilan regu lain pun silih berganti menghibur semua peserta kemah. Ada hal yang menarik dari pentas seni ini. Aku menyadari bahwa bakat teman-temanku itu luar biasa, misalnya regu Matahari, mereka mampu menampilkan tari kreasi. Regu Kalajengking pun tidak mau kalah, mereka menampilkan musik dengan alat sederhana, tetapi tetap menghasilkan nada yang indah.
Tidak lagi terlihat suasana canggung akibat penampilan kelompokku. Bersyukur kelompokku mendapatkan nasihat langsung, sehingga bisa mengetahui mana yang baik dan mana yang kurang baik.
“Sekarang waktunya untuk tidur. Tidak ada yang boleh kluyuran atau ngobrol sampai malam. Nanti malam akan dibangunkan untuk acara renungan malam.” Kak Icha berkeliling.
Semua peserta kembali ke tenda masing-masing untuk beristirahat.
Benar saja, pagi buta sekitar pukul 02.00 pagi, kami semua dibangunkan untuk merapat ke lapangan. Api unggun sudah tidak lagi menyala seperti semalam. Sekarang berganti dengan cahaya temaram dari lilin yang diletakkan di berbagai tempat.
Aku berbaris bersama teman-teman. Mata kami mulai ditutup dengan selembar kain yang sudah disiapkan oleh kakak pembina. Kurasakan tarikan pada tanganku.
“Mau kemana ini? Kok ditarik,” ucapku.
Tidak terdengar sahutan dari seseorang yang menarikku. Setelah aku berputar-putar dan menuruti semua instruksi yang diberikan, aku diminta untuk duduk bersila. Samar-samar terlihat cahaya di depanku.
“Silakan kalian lepas penutup mata masing-masing,” perintah Kak Icha.
Mulai terdengar musik yang bernada sedih. Disusul dengan narasi dari seorang kakak pembina yang membicarakan tentang mama. Entah mengapa, suasana semakin larut dalam kesedihan. Air mataku pun tak terasa sudah menetes. Terdengar suara tangisan kencang sekali. Aku kenal suara tangisan itu.
Acara renungan selesai. Aku menyadari satu hal, bahwa selama ini aku masih banyak berbuat dosa kepada kedua orang tuaku, terlebih Mama. Masih sering tidak menurut ketika diberitahu oleh Mama. Bahkan sering kali aku tidak mau ketika Mama memintaku melakukan sesuatu.
“Gimana, Was? Kamu nangis nggak?” tanya Hafiz.
“Nangis, lah! Aku inget Mama di rumah. Selama ini aku kurang sayang dan peduli sama Mama.” Kuhapus air mata yang masih saja membasahi pipi.
“Sama. Aku janji, akan jadi anak yang lebih baik lagi.” Hafiz berkata dengan penuh percaya diri.
“Amiiin. Doain aku juga, ya, Fiz.” Kupeluk Hafiz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar