Part 11 - Praktik Kewirausahaan

 #Parade_Cernak_Baswara

Praktik Kewirausahaan

Bu Icha mengajak kami untuk praktik kewirausahaan seperti materi yang ada di buku pelajaran.
"Anak-anak, seperti rencana yang sudah Ibu diskusikan dengan kalian beberapa hari yang lalu, besok Sabtu, kita jadi praktik membuat aneka olahan singkong, ya?"
"Iya, Bu." Semua teman terlihat antusias.
"Sudahkah kalian menentukan kelompok?" tanya Bu Icha.
"Belum, Bu. Biar adil, Ibu saja yang menentukan." Ketua kelas mengangkat tangannya untuk menyampaikan usulannya.
Bu Icha menyiapkan kertas putih dan gunting. Kertas tersebut dipotong-potong menjadi persegi panjang kecil-kecil.
"Oke! Pembagian kelompoknya Ibu undi saja."
Terlihat Bu Icha sibuk menuliskan sesuatu di kertas putih kecil itu dan melintingnya menjadi gulungan-gulungan kecil.
"Ini sudah Ibu siapkan. Nanti kalian cukup ambil satu-satu. Tidak boleh ada yang bertukar kertas, ya!" Bu Icha melarang kami dengan tegas.
Hal tersebut dilakukan Bu Icha karena teman-temanku ada yang sampai membawa orang tuanya hanya karena tidak terima dengan pembagian kelompok sebelumnya, yang hanya menggunakan suit.
"Setiap kertas, tertulis sebuah angka yang menunjukkan kelompok kalian nantinya," terang beliau.
Kertas undian kelompok telah diletakkan ke kardus kecil bekas alat peraga matematika.
Bu Icha berkeliling menyodorkan kardus tersebut. Kami diminta untuk membukanya secara bersamaan.
"Vir, kamu dapat kelompok berapa?" tanyaku.
"Kelompok dua." Virland menunjukkan kertas kecil bertuliskan angka dua.
"Jiah … kita nggak sekelompok, dong!" kataku lemas.
Virland hanya nyengir.
"Memangnya, kamu dapat nomor berapa?"
"Nih, dapat nomor tiga." Kutunjukkan kertasku pada Virland.
"Hore! Kamu bareng aku berarti!" sorak Hafiz menghampiriku.
Aku langsung menepuk dahi. Berharap Hafiz bukan bagian kelompokku, tetapi ternyata justru Hafiz mendapat nomor tiga juga.
Bu Icha meminta kami untuk bergabung dengan kelompok masing-masing. Setiap kelompok beranggotakan lima orang anak.
Kelompokku mulai berdiskusi. Aku dipilih menjadi ketua kelompok.
"Anak-anak, kalian Ibu bebaskan menentukan olahan makanan apa saja yang berasal dari singkong. Bisa kalian perkirakan, mana yang akan laku, jika kalian jual. Ingat, ya, tema kita adalah berwirausaha. Jadi, kalian juga harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Jangan sampai mengalami rugi!" terang Bu Icha.
"Kira-kira kita mau bikin apa teman-teman?" tanyaku.
Semua terlihat sedang sibuk memikirkan makanan apa yang bisa dijual dan diolah dengan mudah.
Ada teman sekelompokku yang ngotot ingin membuat keripik singkong. Padahal, teman yang lain tidak setuju. Begitu juga aku. Menurutku keripik singkong akan sulit jika tidak bisa memotongnya tipis-tipis, sekalipun menggunakan pemotong. Hafiz juga berpendapat bahwa menggoreng keripik singkong itu sulit, harus benar-benar menggunakan minyak panas.
Cukup lama kelompokku bersepakat. Hingga akhirnya diputuskan untuk membuat misro atau klethuk.
Pembagian tugas membawa peralatan sedang kami diskusikan. Ada salah seorang temanku yang menawarkan membawa kompor beserta gasnya.
“Yakin, Do, kamu mau bawa kompor dan gasnya sekalian?” tanya Hafiz.
“Yakin, dong! Mamaku punya kompor portable yang pakai gas kecil. Gasnya masih ada, kok!” kata Edo dengan percaya diri.
“Oke. Berarti sudah sepakat, ya? Kompor dan gas yang bawa Edo.” Aku menuliskan hasil keputusan di buku catatanku.
“Eits, tunggu dulu. Aku mau bawa kompor dan gasnya, asal … aku nggak perlu iuran, ya?” Edo mencoba bernegosiasi dengan kelompok kami.
“Memang, harga gasnya berapa?” tanyaku.
“Harganya Rp 15.000,00.” Edo menjawab dengan santai.
“Tunggu dulu, Do! Nggak bisa gitu! Kita sepakati dulu mau iuran berapa. Kalau nominalnya lebih banyak, nggak adil donk! Apalagi kalau iurannya lebih sedikit daripada harga gas, kasihan kamu.” Hafiz menyampaikan pendapatnya.
“Betul! Aku setuju apa kata Hafiz.” Kupandangi semua teman sekelompok.
Aku baru sadar, kalau semuanya adalah anak laki-laki.
“Oke, kita rinci dulu bahan dan alat yang kita butuhkan,” lanjutku.
Semua bahan dan peralatan sudah didata dengan rinci dan jelas. Pembagian alat-alat yang dibawa oleh masing-masing anggota pun sudah adil. Iuran yang disepakati sebesar harga gas milik Edo.
“Nanti, sisa modal belanja, kita jadikan satu dengan keuntungan yang kita peroleh nantinya.” Aku menjelaskan kepada teman-teman.
“Oke. Siap!” jawab mereka bersamaan.
Bu Icha memantau diskusi setiap kelompok. Terlihat beliau puas dengan hasilnya.
“Ibu bahagia. Kalian ternyata sudah bisa mandiri. Tanpa Ibu atur-atur siapa yang membawa peralatan dan berapa nominal iuran, kalian bisa memutuskan bersama-sama. Semoga kegiatan besok bisa berjalan dengan lancar ya, Anak-anak.” Bu Icha berkeliling dengan wajah tersenyum.
“Amiiin …,” jawab kompak bersamaan.
***
Pagi hari terlihat ramai sekali. Teman-teman membawa peralatan memasak yang telah diletakkan di depan kelas.
Kelompokku memutuskan bertempat di ujung lorong.
Bu Icha datang dengan membawa tulisan nama-nama kelompok.
“Bu, maaf. Kelompok kami ada masalah.” Aku menghampiri beliau.
“Masalah apa, Fawwas?” tanya Bu Icha.
“Kelompok kami tidak ada yang membawa kompor. Harusnya Edo yang membawa, Bu. Tetapi Edo bilang tidak diperbolehkan mamanya untuk membawa kompor.” Aku mencoba menjelaskan masalahnya kepada Bu Icha.
“Boleh, nggak, Bu, Kalau saya pulang untuk mengambil kompor atau mungkin pinjam HP Ibu untuk menghubungi Mama.” Aku sedikit bingung.
“Pakai kompor sekolah saja,” kata Bu Icha.
Tidak lama, terdengar suara motor memasuki halaman sekolah. Terlihat orang tua Edo datang dan menghampiri kami semua.
“Ibu, boleh tidak kalau kita ngobrol di kantor. Ada hal yang perlu saya konfirmasi.” Wajah Mama Edo terlihat sedikit emosi.
“Mangga, Bu.” Bu Icha mempersilakan orang tua Edo untuk ke kantor.
Mereka bertiga berjalan sambil terlihat serius mengobrol.
Aku memperhatikan obrolan mereka, sepertinya akan jadi masalah.
“Do, kamu bilang ke mamamu, nggak, alasan kamu bawa kompor dan gas sekalian!” Aku menyenggol Edo terlihat ketakutan.
Belum sampai Edo menjawab, Bu Icha memintaku dan Edo untuk ke kantor.
“Fawwas, kemarin gimana hasil pembagian tugas kelompoknya? Edo kebagian bawa apa aja?” tanya Bu Icha.
Aku menjelaskan dengan hati-hati. Takut kalau salah bicara.
“Betul, Bu. Pembagian tugas, baik iuran maupun alat dan bahan, semua dikoordinir oleh kelompok masing-masing. Karena menjadi poin penilaian juga.” Bu Icha membenarkan ucapanku.
Bu Icha memperbolehkan kami meninggalkan ruang guru.
“Lalu, kenapa, Edo harus membawa kompor dan gasnya sekalian? Belum lagi bawa piring dan sendok!” Wajah mama Edo terlihat kesal dan marah.
“Bu, maaf. Edo sendiri yang mengusulkan dengan syarat Edo tidak ikut iuran. Ibu dengar sendiri tadi penjelasan Fawwas.” Aku mendengar samar-samar ketika hendak keluar.
Entah apa yang dijelaskan Bu Icha kepada orang tua Edo, mereka terlihat keluar kantor dengan wajah memerah. Sepertinya mereka malu dengan keputusannya datang ke sekolah.
Bu Icha menghampiri kami.
“Anak-anak, besok lagi, kalau kalian mendapat tugas kelompok seperti sekarang, tolong ceritakan sejelas-jelasnya kepada orang tua kalian, ya? Jangan sampai kesalahpahaman seperti ini terulang kembali,” pesan Bu Icha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar