Part 16 - Permainan Tradisional

 #Parade_Cernak_Baswara

Permainan Tradisional

Hari yang selalu aku nantikan dengan tidak sabar adalah hari Sabtu. Setiap hari Sabtu ada kejutan yang menanti kami, siswa SDN Sukabahagia 01. Pak Erik dan guru-guru telah mempersiapkan salah satu permainan yang nantinya akan diajarkan kepada kami. Jika minggu kemarin permainan tradisionalnya adalah gobak sodor, kali ini permainannya disebut dengan Boy-Boyan.
Aku sendiri merasa tidak asing dengan peralatan yang telah disediakan di tengah lapangan. Ada beberapa pecahan genteng dan bola tenis lapangan.
“Wah, ini, sih, aku tau cara mainnya,” kataku dengan pernuh percaya diri.
“Sok tahu kamu, Was!” Hafiz mendorong bahuku.
“Nggak percaya kamu, Fiz? Wah, kamu ngremehin aku!” Aku menantang Hafiz dengan mendorongnya kembali.
“Eits! Kenapa kalian jadi ribut-ribut? Udah, mending sekarang kita tunggu penjelasan dari Pak Erik.” Virland menengahi kami.
Pak Erik datang dengan dikawal asisten pribadinya. Siapa lagi kalau bukan Pak Rahmat yang selalu ikut ke mana-mana.
“Assalamualaikum, Anak-anak. Semoga kalian tetap antusias menunggu Bapak.” Pak Erik mengambil bola berwarna hijau dari lantai.
“Waalaikumsalam, Pak.” Anak-anak menjawab dengan suara lantang.
“Ada yang tahu, kira-kira kita mau main apa, ya?” Pak Erik berjalan mengelilingi lingkaran besar yang telah kami bentuk.
Aku mengangkat tangan hendak menjawab.
“Bapak ragu, jika di antara dari kalian ada yang tahu tentang permainan ini.” Pak Erik melanjutkan bicaranya.
“Silakan, kamu! Apa yang kamu ketahui tentang ini?” Pak Erik menunjukku.
“Yang saya tau, Pak. Di kampung halaman mama saya namanya permainan dinas, Pak, tapi ada juga yang menyebutnya Boy-Boyan.” Aku maju ke depan.
Semua terlihat diam. Suasana hening, tidak ada yang berbicara sendiri. Mereka terlihat asyik menyimak penjelasan Pak Erik.
“Betul. Ini namanya permainan Boy-Boyan.” Beliau merangkulku.
Pria berkumis tebal itu memanggil Pak Rahmat untuk membantunya mempraktikkan permainan tersebut.
Aku membantu menata pecahan genteng menjadi sepuluh susun ke atas, dengan pecahan besar yang di bawah.
“Anak-anak! Nanti kalian akan bermain secara berkelompok atau tim. Satu tim jaga dan satu tim main/ penyerang.” Penjelasan Pak Erik terpotong oleh dering ponselnya.
“Sebentar, ya, Anak-anak. Bapak angkat telepon dulu. Maaf.” Pak Erik meninggalkan halaman sekolah.
Pak Rahmat dengan sigap meneruskan penjelasan Bapak kepala sekolah.
“Tim penyerang harus menggelindingkan bola dari batas yang ditentukan hingga mengenai tumpukan genteng ini. Jika tumpukan terjatuh, maka tim penyerang harus berlari, menghindari bola. Akan tetapi harus tetap berusaha menata kembali pecahan genteng ini. Jika berhasil menata kembali, maka mendapat nilai satu.”
“Tugas tim jaga apa, dong, Pak?” tanya salah seorang kakak kelas.
“Tugasnya menjaga larinya bola dan berusaha mengenai tubuh tim penyerang apabila mereka berhasil merobohkan susunan ini.” Pak Rahmat menunjuk tumpukan pecahan genteng.
“Terus, tim jaga dapat nilai dari mana, Pak?” Virland mengangkat tangan kanannya.
“Pertanyaan bagus. Tim jaga akan mendapat nilai jika mereka berhasil mengenai tim penyerang dengan bola. Asal … jangan sampai mengenai kepala.” Pak Rahmat menjelaskan dengan gaya khasnya, mondar-mandir.
Semua siswa terlihat semakin antusias.
“Nanti yang praktik kelas atas saja, ya! Anak kelas satu sampai tiga, sementara jadi penonton dan penyemangat saja.”
“Siapa yang ingin bermain?” tawaran di lempar kepada siswa kelas empat sampai enam.
Sudah terbentuk dua tim dengan masing-masing tim berjumlah lima anak. Tim kali ini bukan berdasarkan kelas, melainkan diacak sesuai hasil suit jari. Aku dan Hafiz berbeda tim.
Permainan pun dimulai. Aku berada di tim penyerang. Sedangkan Hafiz berada di tim jaga. Salah seorang teman timku berhasil merobohkan tumpukan genteng. Aku berlari menghindari posisi bola hijau. Ketika bola hijau melambung jauh dari posisi pecahan genteng, timku lari mencoba menyusun kembali.
“Ayo, cepat! Jangan sampai roboh lagi!” Virland meneriaki kami yang sedang mencoba menyusun ulang.
Tiba-tiba bola sudah mengenai salah seorang temanku.
“Nah, Anak-anak! Jika kalian perhatikan, ada salah seorang anak dari tim penyerang yang terkena bola. Apa yang terjadi selanjutnya?” tanya Pak Rahmat.
Kami menghentikan permainan sesaat. Tidak ada yang menjawab pertanyaan beliau.
“Anak tersebut harus keluar dari lapangan dan tidak mengikuti permainan lagi. Hingga menunggu pergantian tim setelah semua tim penyerang terkena bola.” Pak Rahmat menjelaskan aturan mainnya.
Permainan dimulai kembali. Aku berlari menghindari bola. Kini hanya tinggal aku yang tersisa di tim penyerang. Semua temanku sudah terkena bola.
“Udah, nyerah aja, kamu, Was!” ledek Hafiz.
“Ogah! Kenapa harus nyerah?” Aku berlari menghindari tim jaga.
Belum sempat berjongkok, tiba-tiba ada bola yang menghantamku tepat di bahu kanan.
“Aduh! Sakit banget!” Aku mengaduh kesakitan.
“Hafiz! Kamu nggak boleh nglempar kencang-kencang gitu!” Pak Rahmat menghampiriku.
“Sengaja, Pak! Abisnya kesel banget sama Fawwas! Kelamaan! Nggaya lagi!” Hafiz belum terlihat menunjukkan penyesalannya.
Pak Rahmat mengingatkan kami, bahwa ini hanyalah permainan. Tidak boleh dilakukan dengan sengaja atau memang niat menyakiti temannya.
“Anak-anak. Kita sudahi permainan hari ini, ya. Bapak pesan ke kalian, permainan itu untuk senang-senang, bukan untuk saling menyakiti.”
Aku dituntun menuju ruang UKS oleh Virland.
“Maafkan aku, Was. Aku kesel karena tim kamu lama banget mainnya. Aku juga pengen jadi tim penyerang.” Hafiz merangkulku.
“Nggak apa-apa. Untung cuma memar aja, nggak sampai patah tulang.” Aku tersenyum.
“Lucu kamu, Was.” Kami pun tertawa bersama-sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar