UJIAN AKHIR TAHUN (CBA-1)
Oleh
Anisa Ratna Pertiwi
Kesedihan
menjadi seorang perantau di daerah lain, akan sangat terasa ketika kita sedang
diuji sakit. Jauh dari orang tua dan sanak family menjadi ujian tambahan. Belum
lagi jika kita tidak dekat dengan tetangga sekitar rumah, lengkap sudah
ujiannya.
Aku
tidak menyangka bahwa ujian ini akan menjadi ujian akhir tahun bagi keluarga
kecilku. Akhir tahun yang semestinya bisa menjadi libur panjang yang
menyenangkan bagi murid dan guru, hanya menjadi harapan yang entah kapan bisa
terwujud lagi. Ya, aku berprofesi sebagai seorang guru di daerah penyangga ibu
kota, tepatnya di Kabupaten Bogor. Sudah sewajarnya agenda liburan, tengah aku susun
rapi bersama keluarga di kota asal. Namun, agenda tersebut harus kuurungkan
setelah keluarga kecilku menjalani Tes Rapid Antigen dengan hasil aku dan suami
positif. Rasa-rasanya masih belum percaya dengan hasilnya, petugas laboratorium
yang merupakan sahabat kami pun meminta kami melakukan Tes Rapid Antibody.
“Mbak,
gimana ya? Hasilnya positif. Saya masih penasaran dengan anti bodynya sudah
terbentuk apa belum?” Beliau munuturkan dengan raut wajah yang terlihat sangat
khawatir.
“Innalillahi,
terus anak-anak gimana, Bu? Apa yang sebaiknya aku lakukan” Aku pun enggak
kalah khawatir, membayangkan apa yang akan terjadi dengan anak-anak.
Suami
masih terlihat santai, tetapi aku percaya ia tak kalah khawatirnya seperti aku.
“Makanya,
saya penasaran. Anak-anak ikut dirapid juga, ya? Paling tidak rapid anti body.”
Beliau dengan pakaian APD lengkap langsung menyiapkan alat tesnya.
Aku
ingat betul, waktu itu Sabtu sore, aku janjian dengan Bu Anne yang sudah
seperti sahabat sekaligus orang tuaku di perantauan ini untuk melakukan Rapid
Test di klinik dekat rumah. Beliau dan suaminya pun tahu bahwa kami sekeluarga
hendak mudik hari Minggu sore setelah acara pengajian Minggu paginya.
Padahal
kalau dipikir-pikir, naik mobil pribadi tanpa melakukan Rapid Test pun enggak
jadi masalah. Karena belum diberlakukan wajib rapid antigen sewaktu memasuki
sebuah wilayah. Hanya saja, aku berinisiatif sendiri untuk melakukannya, bukan
tanpa sebab, melainkan karena rasa sayangku pada keluarga yang ada di rumah.
Bapak ibu sudah pasti akan lebih beresiko terpapar kalau aku tetap nekat pulang,
tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Akan lebih menyedihkan bukan?
Kalau ternyata kita membawa virus yang semestinya bisa kita cegah sebelumnya.
Semakin
banyak orang yang berpikir takut akan hasil pemeriksaan, semakin susah untuk
memotong mata rantai penyebaran virus COVID-19 ini. Terlebih masih banyak yang
abai dalam menerapkan protokol kesehatan.
Pandemi
ini belum dapat kita prediksi kapan berakhir, angka-angka pasien yang
terkonfirmasi COVID-19, yang muncul setiap kali kita menyalakan televisi,
semakin hari semakin meningkat. Itu pun hanya berdasarkan data para pasien yang
sudah melakukan pemeriksaan. Bagaimana dengan para OTG dan pasien bergejala
yang takut menjalani pemeriksaan? Wallohu’alam.
Alhamdulillah
anak-anak tidak menangis ketika diambil darahnya untuk dilakukan tes antibody.
Dan hasil kami berempat non-reaktif untuk Rapid Antibodynya. Namun, kami belum
bisa bernapas lega, karena wajah Bu Anne masih menunjukkan kekhawatiran.
“Mbak,
ini langsung saya daftarkan buat Swab PCR di Puskesmas, ya, Mbak?”
Kami
pun hanya bisa meng-iya-kan dengan anggukan kecil.
“Ditunggu
dulu, ya. Biar sekalian tahu jadwal PCR nya. Mbak Anis sekarang pulang tapi
langsung isolasi mandiri, ya? Besok enggak usah ikut pengajian dulu. Mudik pun
jangan. Semoga hasil PCRnya bagus.” Beliau berpesan cukup panjang, dengan
tangan yang masih memegang gawai menunggu balasan dari seberang, sepertinya
Satgas COVID di kecamatan.
Karena
aku yang terbiasa untuk membuat tulisan apapun di media sosial, akhirnya
kuputuskan untuk bercerita tentang hasil tersebut di wall FB-ku. Entah aku yang
terlalu naïf, atau memang aku yang tidak tahu situasi sebenarnya, bahwa dengan
pernyataanku di FB itu juga akan menjadi bumerang bagi kami sekeluarga.
Banyak
yang bertanya, banyak pula yang mencibir. Bahkan ada yang bilang kalau kami
bangga terkena COVID-19. Astaghfirulloh …. Beberapa orang menunjukkan
kepedulian dan beberapa orang lagi menyayangkan tulisanku, karena pasti akan
berdampak. Namun, aku masih berpikir bahwa tulisanku akan tetap bermanfaat bagi
orang lain.
Kami
sekeluarga mulai isolasi mandiri di rumah. Mulai dari menyiapkan amunisi
kebutuhan pokok dan beberapa obat-obatan. Akun virtual untuk pemesanan dan
belanja online pun sudah aku isi, karena aku tidak terbiasa merepotkan orang
lain, sekali pun itu tetangga, walaupun sekedar untuk nitip belanjaan.
Dan
benar, kekhawatiran beberapa orang atas tulisanku pun mulai terasa. Setelah kabar
menyebar, tetanggaku pun tidak ada yang berani mendekati area rumah. Untung
lingkungan rumahku juga masih terbilang daerah belum padat penduduk, karena
masih banyak lahan kosong/ kebun tak terawat.
Setiap
pagi kami berjemur di depan rumah yang masih tanpa pagar dan teras.
Alhamdulillah, matahari pagi masih berkenan mampir di halaman depan rumahku.
Belum ada perasaan aneh di dadaku. Namun, semakin hari, semakin enggak enak
kalau dimasukkan ke hati. Bagaimana tidak? Ketika kami berjemur, beberapa anak
yang lewat di jalan depan rumah, langsung menutup hidung mereka dengan baju
yang mereka kenakan.
“Miris,
ya, Yah.” Aku berbicara dengan suamiku.
“Sudah
jelas ada contoh nyata bahwa COVID-19 itu benar adanya. Namun, tetangga masih
banyak yang abai. Anak-anak masih pada kumpul-kumpul. tanpa masker lagi. Ayah merhatiin enggak? Barusan mereka lewat
depan kita dengan menutup hidung pakai kaos mereka. Harusnya mereka bermasker,
bukan menutupinya dengan baju yang belum tentu steril. Itu pun hanya di depan kita
lho, Yah.” Aku mulai sensitif dengan perlakuan sekitar.
“Udah, enggak usah diambil hati. Lagian mereka
masih anak-anaka, Mah!” Suamiku asyik memimpin olahraga anak-anak.
“Hlah,
mereka bisa bersikap seperti itu pasti juga diajarin orang tuanya. Harusnya
ngajarinnya ‘kan pakai masker, bukan gitu caranya. Udah nyinggung kita, salah
juga ngajarinnya.” Aku mulai emosional dan memilih masuk ke dalam rumah.
Aku
menyadari, bahwa keluarga kami bisa membahayakan orang lain. Namun, kami juga
berusaha meminimalisir sekecil mungkin resiko tetangga kami untuk terpapar.
Setiap hari kami mencari informasi apa yang boleh dilakukan dan apa yang
dilarang dilakukan. Bahkan aku dan suamiku tetap bermasker, sekali pun di dalam
rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar