PERSAHABATAN TIGA PUTRI (2)
Oleh : Anisa Ratna Pertiwi
Dooor …. Nurul mengagetkan kami yang tengah asyik duduk di meja sebuah kafe dekat kampus.
“Ih, kamu kebiasaan, Rul. Ngagetin orang!” tukas Rara.
“Iya, udah tau kalau kita jantungan, masih aja suka ngagetin.” Aku melotot melihat Nurul sambil memoyongkan bibir tebalku.
“Abisnya kalian asyik banget ngobrolnya. Sampai-sampai enggak sadar kalau aku sudah datang.” Nurul menarik kursi yang ada di depanku.
Persahabatan kami belum lama terjalin, tetapi rasa-rasanya sudah berteman lama.
“Emang kalian lagi ngobrolin apa? Mukanya pada serius gitu,” selidik Nurul.
“Kamu tau Awan ‘kan, Rul? Salah satu cowok di jurusan kita.” Rara memberikan daftar menu pada Nurul.
Nurul masih belum paham arah pembicaraannya. Ia terlihat sedikit mengerutkan keningnya.
“Terus, hubungannya sama kita apa?” Nurul berbicara sambil melambaikan tangan pada _waitress_ dan menyerahkan lembar pesanannya.
“Dasar ni anak, kagak peka banget ya jadi orang. Kemarin, tetiba dia ada di sanggar tarinya Rara. Coba tebak, dia ngapain?” tanyaku lebih bersemangat.
“Enggak mungkin donk kalau ikutan nari di sana. Paling nganterin pacarnya kali?” Memang Nurul anak yang paling cuek di antara kami. Dia sendiri yang paling tidak tertarik kalau tema obrolannya tentang cowok. Dia lebih tertarik dengan kegiatan _muncak_ bersama komunitasnya.
Obrolan tema cowok pun berakhir. Ada hal yang lebih menarik yang selalu bisa menjadi bahan obrolan kita, salah satunya adalah makanan. Bagi pecinta kuliner seperti kami, mengomentari makanan dan mencoba makanan di semua tempat merupakan keasyikan tersendiri, walaupun kami juga mempunyai hobi lain.
Tetiba gawai Rara berdering. Melihat ekspresi Rara yang terkejut, sudah bisa dipastikan, bahwa penelponnya adalah ibu tirinya.
“Rara…. Kemana aja kamu? Udah sore belum sampai rumah! Buruan pulang! Jangan kelayaban” terdengar suara delapan oktaf dari seberang.
“Deuh… Nona Cinderella, kenapa kamu enggak ngekos bareng kita aja, si? Tabunganmu lho banyak. Belum lagi jarak rumahmu ke kampus lumayan jauh,” kucolek dagunya sedikit menggoda. Berharap dia akan ikut bersama kami.
Ada sedikit rasa iba pada Rara. Kepribadiannya yang lemah lembut dan rajin, sering kali dimanfaatkan oleh ibu dan saudara-saudara tirinya. Sering kali ketika masih ada perkuliahan, Rara mendadak izin pulang dengan alasan sakit. Padahal kami cukup tahu, kalau ia pasti disuruh pulang. Hingga kadang kami ledek Nona Cinderella karena cerita kehidupannya bak Dongeng Cinderella, bedanya dia Cinderella di kehidupan nyata.
“Aku pamit dulu, ya? Maaf, enggak bisa nongkrong lama-lama bareng kalian.” Rara mengambil tas selempangnya dan segera pergi meninggalkan kami.
Sepeninggal Rara, Nurul mencoba menginterogasiku tentang obrolan kami tadi.
“Nay, tadi kalian ngomongin Awan. Emang kenapa dengan dia?”
“Hmmm…. Kasih tau enggak ya? Bukannya tadi kamu enggak tertarik?” godaku pada Nurul.
“Hehe…. Penasaran aja,” jawab Nurul sambil nyengir.
“Awan mencoba mendekati Rara. Dia mengajak Rara jalan. Tapi tau sendiri ‘kan? Bagaimana Rara? Tidak pernah terbesit untuk punya pacar. Hidupnya sudah cukup ribet dengan kehadiran ibu dan saudara-saudara tirinya.” Aku menghabiskan Selat Solo, makanan favoritku.
Air muka Nurul mendadak berubah. Terlihat sedikit kecewa mendengar penjelasanku.
“Nay, bukannya kamu juga dulu bersahabat dengan Awan, ya? Bahkan pernah main ke rumahmu dengan teman-teman _touring_ lainnya ‘kan?” Wajah Nurul kali ini berubah sedikit lebih serius.
“Iya, sebelum aku main dengan kalian. Emang kenapa?” tanyaku.
_Jangan sampai dia mengorek-orek cerita masa lalu tentang kedekatanku dengan Awan_ batinku.
“Kapan kamu akan berangkat ke Bunaken? Bukannya komunitasmu mau berangkat _snorkling_?” Nurul mengalihkan pembicaraan, sepertinya dia menyadari sesuatu pada raut mukaku.
_Alhamdulillah. Aman._ batinku merasa lega. Interogasi Nurul tidak berlanjut.
“Hmmmm…. Aku masih bingung. Antara mau ikut atau tidak. Oh iya, aku belum cerita ke kalian, ya? Akhir-akhir ini aku bermimpi aneh.” Aku sedikit bergumam dan memiringkan kepala, mengingat mimpiku menjadi merinding.
Bulu kudukku meremang dan tiba-tiba tubuhku bergidik. Sinyal aneh diterima tubuhku.
“Mimpi apa?” Muka Nurul sudah berada tepat di samping mukaku.
“Astagfirullohal’adzim… Rul… Rul…. Bikin kaget aja!” bentakku.
“Kamu aneh, Nay.” Nurul kembali ke posisi semula.
“Aku akhir-akhir ini mimpi berubah jadi putri duyung ketika berada di bawah laut. Anehnya mimpi itu tidak hanya satu kali, hampir tiap malam aku terbangun karena mimpi itu,” ceritaku.
“Hahaha…. Mana ada manusia berubah jadi duyung? Itu hanya ada di dongeng anak-anak. Hadeuh, ah. Kalian ini! Yang satu Cinderella, yang satunya lagi Putri Duyung.” Nurul menertawakan ceritaku.
Nurul memang orang yang tidak percaya dengan dongeng anak seperti itu. Menurutnya dongeng itu hanya sebuah karya sastra dan semuanya adalah fiksi.
“Tapi, Rul. Ini berasa nyata sekali. Saking konyolnya, aku enggak berani ikut berlatih di kolam renang. Kalau dihitung-hitung sudah tiga bulan aku hanya duduk di samping kolam saja.” Kali ini aku lebih serius mencoba meyakinkan mimpiku pada Nurul.
“Jangan-jangan kamu titisan dari Dewi Atargatis yang ada di mitologi kuno.” Nurul menggodaku.
Rasa-rasanya ingin kulempar tisu yang ada di meja.
“Jahat kamu, Rul. Aku khawatir. Kamu malah nanggepinnya enggak serius. Jangan-jangan kamu bahagia kalau aku berubah jadi duyung, iya ‘kan?” Kunaikkan volume suaraku.
“Udah ah. Mimpi kan bunga tidur. Jangan dianggap serius. Saranku, banyakin doa sebelum tidur. Biar Syaithan tidak masuk ke mimpimu.” Nurul mencoba menasehatiku.
Kebiasaanku yang tertidur ketika sedang membaca buku tanpa membaca doa, mungkin itulah sebabnya. Nasehat Nurul aku ingat betul agar mimpi itu tidak datang lagi menghampiriku.
“Oh iya, jangan cuma baca doa hendak tidur. Baca juga surat Al Fatihah, syukur-syukur bisa tujuh kali. Surat An-Nas, Al Falaq, dan Al Ikhlas masing-masing tiga kali. Biar lebih afdhol, baca Ayat Kursi juga. Dan tidak kalah pentingnya, ambil air wudu sebelum pergi tidur. Insya Allah tidurmu akan nyenyak.” Nurul memberiku saran yang cukup panjang tetapi sangat berarti.
“Oke, nanti aku coba. _Thank’s_ ya, Rul.” Aku menepuk pundaknya dan mengajaknya bangkit dari tempat duduk.
***
“Pagi Nona Cinderella dan Nona Duyung,” sapa suara tidak asing dari balik kaca ruang kelas.
“Udah deh, enggak usah ngeledek gitu.” Aku memberinya isyarat agar ia segera masuk kelas.
Kami terbiasa duduk di pojok belakang kelas, tempat ternyaman untuk ngerumpi.
Pagi ini jadwal mata kuliah Metodologi Pendidikan kosong. Jadi kami melanjutkan cerita kemarin yang sempat terpotong.
“Ra, gimana keputusanmu tentang ajakan Awan?” tanya Nurul.
“Kamu dah cerita ke Nurul ya, Nay?” Muka Rara berubah sedih.
“Aku bingung mesti jawab apa? Selain kondisiku seperti ini, yang rasa-rasanya enggak bisa tenang kalau-kalau ibu menelpon dan menyuruhku pulang, ditambah aku tahu kalau kalian juga suka Awan.” Suasana mendadak menjadi hening.
Baik aku maupun Nurul terlihat salah tingkah. Aku pura-pura membuka layar gawai, sedangkan nurul pura-pura hendak membeli cemilan, hingga tangan Rara meraih tangan Nurul yang tengah siap beranjak dari tempat duduknya.
“Aku ingat cerita tentang seorang penyelamat yang berhasil membantumu ketika mengalami hypothermia di Puncak Jayawijaya. Itu Awan ‘kan, Rul?” Telapak tangan Rara mengusap lembut tangan Nurul.
“Bagaimana kamu bisa tahu, Ra? Aku bahkan tidak menceritakannya kepada kalian siapa orangnya.” Suara Nurul terdengar sedikit bergetar.
“Aku dengar sendiri dari Awan. Dia sempat bercerita tentang kejadian itu, hingga kamu mendapat julukan Putri Salju di komunitas Pendaki Gunung. Julukan itu diberikan buat ngeledek kamu yang enggak tahan dinginnya salju di sana. Iya ‘kan?” Rara melanjutkan ceritanya.
Dalam hati rasanya ingin menertawakan diri sendiri. _Ada apa ini? Kenapa bisa begini? Aku yang dulu sempat menyukainya harus aku urungkan karena nasehat simbok untuk tidak pacaran._
“Aku juga tau alasan kamu menjauh dari Awan, Nay. Kamu sudah berjanji dengan simbok untuk tidak pacaran, ‘kan? Itu sebabnya kamu menolak cinta Awan.” Terdengar isakan tangis Nurul, disusul dengan isak tangisku.
“Sudah aku putuskan, bahwa aku tidak akan menerima pendekatan Awan. Karena aku lebih memilih kalian. Kalau pun nanti diantara kita berjodoh dengan Awan, biarkan menjadi takdir kita setelah lulus.” Rara menenangkan kami berdua.
Rara menjadi pribadi yang lebih dewasa, lebih tepatnya dewasa karena keadaan. Walaupun dia sering mendapatkan perlakuan kasar dan tidak adil dari ibu tirinya, Rara tidak pernah menentang atau pun mengeluhkannya kepada kami. Menurutnya, sekalipun itu ibu tiri, patuh dan taat untuk menjadi anak salihah itu yang utama karena surga berada di telapak kaki ibu. Ia rajin bangun malam untuk mendoakan ibu tiri dan saudara-saudaranya agar lebih menyayanginya.
Kami pun menghapus bulir-bulir bening yang tengah membanjiri kedua pipi kami masing-masing. Persahabatan lebih berharga dari pada cinta. Karena sejatinya, cinta yang tulus adalah cinta yang berhasil meminang kedua keluarga, bukan cinta yang menggoda satu dengan lainnya.
Labels:
Parade Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar