Sinopsis COVID-19 Bukanlah Aib

 

SINOPSIS

COVID Bukanlah AIB

 

Mendengar hasil tes rapid antigen membuatku syok sekejap. Berharap hasil tes negatif agar bisa berlibur bersama keluarga kecilku ke kota kelahiran, sirna sudah. Terlihat raut muka khawatir dari petugas laboratorium yang merupakan sahabat dan sudah aku anggap seperti ibuku sendiri di perantauan ini.

Beliau yang memeriksa pun masih sedikit kurang percaya dengan hasilnya, karena kami berempat terlihat sehat-sehat saja, hanya anak-anak yang terlihat batuk pilek. Kupikir itu hanya batuk pilek biasa, tetapi nyatanya lain. Tes rapid antibody dilakukan pada kedua anakku dengan tujuan untuk mengetahui keterbentukan antibody di tubuh mereka. Ada sedikit raut lega di mata beliau, karena hasil rapid non reaktif.

Isolasi mandiri langsung disarankan untuk kami sekeluarga hingga menunggu jadwal swab PCR di Puskesmas.

Karena aku terbiasa membuat sepenggal cerita singkat, sore itu pun kuputuskan untuk menulis kejadian hari ini.

Kutulis sebuah cerita seingkat di dinding FB-ku yang berisi tentang hasil pemeriksaan rapid antigen keluargaku yang mengharuskan kami isolasi mandiri. Banyak komentar yang masuk dan banyak pula yang langsung menghubungiku melalui wapri. Alhamdulillah, banyak dukungan yang diberikan oleh para sahabat, banyak pula yang memberikan saran dan berbagi pengalaman tentang isolasi mandiri yang pernah mereka jalani. Namun, lain halnya dengan komentar tetangga yang juga mengetahui kondisi keluargaku. Bukan support yang kami peroleh, melainkan nyinyiran yang dipasang di status WAnya. Tak jarang yang kasak-kusuk di belakang.

Seminggu berlalu isolasi kami jalani, tibalah jadwal swab PCR anak-anak. Petugas puskesmas datang dengan mobil ambulance dan berpakaian APD lengkap. Lagi-lagi nyinyiran yang aku dapat dari status WA tetanggaku. Aku menyadari, ini bukanlah hal baik untuk mental dan imunku. Namun, aku sudah terlanjur meladeninya dengan membalas status WAnya. Hingga berakhir dengan pemblokiran nomorku. Tetangga pun semakin takut untuk mendekat, bahkan tetangga depan rumah pun tidak terlihat hingga aku tulis synopsis ini. Sepertinya dia mengungsi. Tetangga yang tadinya dekat dengan kami pun ikut menghindar. Sekedar menawarkan bantuan dari mereka pun nihil. Dari pihak RT maupun desa juga tidak ada perhatian sama sekali. Bersyukur, masih banyak rekan sejawat yang menawarkan bantuan.

Aku tetap percaya, dengan keterbukaanku tentang status positif COVID-19 keluargaku, akan banyak menyadarkan teman-teman yang tidak mempercayai adanya COVID-19 ini, karena rekan kerjakkku juga tidak percaya, mereka meyakini bahwa pandemi ini hanyalah konspirasi.

Setiap hari kutulis aktifitasku di status WA. Banyak teman yang bertanya karena mereka merasakan gejala yang sama, dan ada pula yang sekedar bertukar pengalaman tentang kesamaan situasi. Pikiranku pun mulai tenang karena tidak lagi menjumpai status WA yang bernada nyinyir.

Ada seorang sahabat yang tetap menyemangatiku bahwa keterbukaanku bukanlah suatu aib, melainkan menginspirasi bagi dirinya, dan kemungkinan banyak orang lain yang ikut terinspirasi. Jadi, kuputuskan untuk menuliskan ceritaku sendiri sebagai wujud berbagi pengalaman dalam menghadapi COVID-19 ini. Tetap berharap keterbukaan ini akan lebih menyadarkan bagi semua orang bahwa COVID-19 bukanlah sebuah aib, melainkan sesuatu yang harus disupport agar lekas pulih dan dapat memutus mata rantai penyebaran. Bayangkan jika semua orang menganggap ini aib, pasti banyak yang tidak mau memeriksakan diri mereka. Seperti halnya menunggu bom waktu yang akan segera meledak karena perlakukan dari lingkungan sekitar yang kurang tepat.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar