Semua Ada Hikmahnya (6)
Oleh : Anisa Ratna Pertiwi
Tema : Amnesia Anterograde
Jumlah Kata : 987 kata
Sebulan sudah Awan dan Rara menjalani biduk-biduk rumah tangganya. Terlihat kompak dan harmonis. Rumah sederhana dengan taman bunga di sekelilingnya, membuat suasana indah dan nyaman.
“Dek, aku berangkat kerja dulu, ya?” Awan berpamitan sambil mencium kening istrinya.
“Iya, Mas. Aku juga masih perlu merapikan beberapa berkas untuk melamar di sekolah swasta.” Rara mencium punggung tangan suaminya.
Belum sampai Awan meninggalkan rumah, terdengar bunyi _ringtone_ lagu Aloha milik Jo Jung Suk di gawai milik Rara.
“Hallo... Assalamualaikum, Ra.” Suara bergetar dari seberang.
“Wa’alaikumsalam, Bu. Tumben Ibu telepon Rara. Ada apa, Bu?” tanya Rara.
“Ra, ibu sekarang ada di RS Harapan Kita. Ayahmu belum sadarkan diri, tadi pagi pingsan sepulang dari kerja. Ibu tunggu kamu secepatnya. Buruan, enggak usah lama-lama!” perintah dari penelepon.
Tut… tut… tut… Telepon pun terputus.
Ayah Rara kerja di luar kota. Setiap akhir pekan, ia menyempatkan pulang ke rumah. Tak jarang pagi buta baru sampai rumah.
“Ayo, kita langsung ke rumah sakit kalau gitu!” Ajak Awan pada istrinya.
“Tapi, Mas Awan ‘kan harus berangkat kerja.” Mata Rara bertatapan dengan mata Awan.
“Gampang, nanti bisa izin via telepon. Sekarang yang penting adalah ke rumah sakit terlebih dahulu.” Awan memegang pundak istrinya.
Rara masuk ke dalam rumah untuk mempersiapkan diri mengganti pakaiannya dan mengunci pintu.
Mereka meninggalkan rumah dengan perasaan _nano-nano_.
“Mas, aku takut kalau terjadi apa-apa sama ayah.” Rara memeluk erat pinggang suaminya.
“Tenang, Dek. Kita panjatkan doa terus-menerus supaya ayah baik-baik saja dan bisa sehat kembali.” Awan menyentuh tangan yang melingkar di pinggangnya.
***
Rara dan Awan menuju Ruang ICU. Terlihat Bu Stefi sedang menunggunya di selasar ruang tunggu.
“Bu, gimana ayah?” tanya Rara pada ibu tirinya.
“Masih belum sadarkan diri, Ra. Kita tunggu dokter _visit_ dulu. Tadi baru ditangani dokter jaga.” Bu Stefi terlihat berantakan dibanding penampilan biasanya. BIasa terlihat modis dan tidak pernah meninggalkan bedak serta pemerah bibirnya, kali ini tidak terlihat riasan apapun di wajahnya.
“Permisi, keluarga Bapak Arman ditunggu dokter di ruang konsultasi,” sapa seorang perawat muda.
“Terimakasih, Sus,” jawab Rara.
“Ayo, Bu. Kita temui dokter.” Mereka menuntun Bu Stefi yang terlihat lemas _tak_ bersemangat.
“Assalamualaikum, Dok.” Rara menyapa seorang dokter paruh baya yang tengah duduk di ruangannya.
“Waalaikumsalam. Silahkan duduk, keluarga Pak Arman,” jawab dokter dengan ramah.
“Saya Dokter Sandi, Dokter Spesialis Neurologi di RS Harapan Kita ini. Bolehkan saya bertanya?” Dokter Sandi memperkenalkan diri sekaligus mengajukan pertanyaan.
Rara terlihat sedikit memutar otaknya.
_Spesialis neurologi? Bukannya itu dokter otak? Ada apa ini sebenarnya?_ batin Rara penasaran.
“Apakah Pak Arman suka mengkonsumsi minuman keras?” tanya dokter.
“Kami kurang tau, Dok. Karna ayah kerja di luar kota, jarang pulang. Kalaupun pulang tidak pernah menunjukkan tanda-tanda minum-minuman keras.” Rara menjawab pertanyaan dokter sepengetahuanya selama tinggal dengan ayah.
“Kami temukan adanya peradangan jaringan otak di kepala Pak Arman, sepertinya ini disebabkan oleh keracunan alkohol. Melihat tidak ada cedera akibat benda keras pada kepala beliau.” Dokter Sandi menjelaskan kepada keluarga Pak Arman dengan perlahan.
“Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya, Dok?” Rara mulai khawatir dengan kondisi ayahnya.
“Untuk saat ini, kita hanya dapat memberikan beberapa obat dan memantau perkembangannya saja. Namun kita tidak bisa terlalu berharap akan sembuh seperti sedia kala. Peradangan otak yang dialami Pak Arman ini akan menunjukkan gejala lain, seperti Amnesia Anterograde. Mungkin asing dengan istilah yang satu ini, ya? Ini amnesia yang menyebabkan hilangnya memori jangka pendek Pak Arman. Bisa jadi nanti beliau tidak mengenali keluarganya atau mengingat kejadian-kejadian belum lama ini, atau bahkan untuk ke depannya Pak Arman tidak dapat mengingat hal-hal yang baru saja dikerjakan.” Dokter cukup berhati-hati menjelaskan kondisi Pak Arman pada keluarganya.
“Lalu apa yang dapat kami lakukan untuk ayah, Dok?” Rara terlihat semakin cemas mendengar penjelasan Dokter Sandi.
“Kita tunggu Pak Arman siuman terlebih dahulu, seperti apa reaksi beliau. Bantu dengan doa karena kekuatan utama dalam kesembuhan adalah doa, kami hanya perantara saja. Banyak bersabar untuk nantinya, karena pasti akan cukup menguras emosi.” Dokter Sandi melanjutkan penjelasnya.
Telepon di meja Dokter Sandi berdering, terdengar suara wanita di seberang, “Dok, Pak Arman sudah siuman.”
Dokter Sandi menutup teleponnya dan mempersilahkan keluarga Rara menuju Ruang ICU.
“Tunggu di sini sebentar, ya, Bu. Nanti saya persilahkan masuk, tapi bergantian. Sekarang saya akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.” Dokter Sandi masuk ke ruang ICU.
Tidak terlihat seorang pun dari keluarga Pak Arman yang bisa duduk dengan tenang, menunggu panggilan Dokter Sandi. Rara berjalan _mondar-mandir_ sambil _komat-kamit_ melantunkan doa untuk ayahnya. Bu Stefi berdiri di dekat pintu ruang ICU dengan air matanya yang bercucuran, sesekali diusapnya dengan tisu. Sedangkan Awan berdiri menyandar ke dinding rumah sakit sambil memejamkan matanya dan berdoa.
“Pak Arman menghendaki putrinya yang masuk ke dalam.” Perawat datang menghampiri Rara.
Rara menghampiri ayahnya dan memegang jemari tangannya, “Ayah… Ayah baik-baik saja, ‘kan?
“Iya, Ra. Maafkan ayah, ya? Mendekati hari bahagiamu, ayah malah jatuh sakit. Gimana persiapan resepsi pernikahanmu?” tanya Pak Arman.
“Ayah, Rara sudah menikah dari sebulan yang lalu.” Tanpa sengaja air mata Rara jatuh membasahi punggung tangan ayahnya. Ia teringat dengan penjelasan dokter tadi.
“Ya ampun. Apakah ayah melewatkan sesuatu? Bagaimana ayah bisa melupakan moment bahagiamu?” Pak Arman memegang kepalanya.
“Enggak apa-apa, Yah. Tadi dokter bilang ini hanya efek sementara akibat ayah pingsan. Ayah tidak ingin menemui ibu?” Rara terpaksa berbohong.
“Maafkan ayah, ya, Ra? Selama ini kurang memperhatikanmu. Bukan berarti ayah tidak menyayangimu, hanya saja ayah ragu. Ayah masih merasa bersalah dengan almarhum ibumu.” Pak Arman menjelaskan bagaimana keadaannya selama ini.
Rara mencoba memaklumi kondisi ayahnya. Ia hanya berharap ayahnya bisa menjalani sisa usianya dengan tenang tanpa danya _miras_ lagi.
***
“Pak, ini foto-foto pernikahan Rara sebulan yang lalu. Cantik bukan anakmu?” tanya Bu Stefi.
Pak Arman hanya mengangguk dan tersenyum.
“Maafkan aku, Pak. Selama ini terlalu menekanmu dan membenci anakmu. Mungkin itu sebabnya kamu mengonsumsi miras tanpa sepengetahuanku.” Bu Stefi _nampak_ menyesali perbuatannya.
Kini setiap harinya, Pak Arman selalu mengabadikan peristiwa yang dialaminya bersama siapa pun, sebagai pengingat ketika ia mulai melupakan sesuatu dan merasa frustasi.
Ia bersyukur, bahwa Allah masih memberinya kesempatan untuk memperbaiki hubungan keluarganya dan menyadarkan bahwa _miras_ bukanlah solusi dari suatu masalah.
Bogor, 12 Juli 2020
Labels:
Parade Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar