Dia Pasti Mencintaiku (7)
Oleh : Anisa Ratna Pertiwi
Tema : Delusi Erotomania
Jumlah Kata : 975 kata
Sejak Awan menikah dengan Rara, aku kehilangan minat dengan seseorang. Selama ini perasaanku padanya hanya kupendam, karena tidak ingin menyakiti siapapun. Dimulai dari terhalangnya restu orang tua untuk berpacaran hingga aku cukup yakin bahwa Awan mencintai gadis lain, yang _tak_ lain dan _tak_ bukan sahabatku sendiri, Rara.
Siang ini aku menghadiri undangan resepsi saudara dari Simbok – panggilan ibuku – yang diadakan di salah satu _ballroom_ hotel di Solo. Tanpa sengaja kulihat seseorang yang selama ini menjadi idolaku turut hadir di acara tersebut. Kehadirannya bukan sebagai bintang tamu acara, melainkan dia sahabat dari pengantin perempuan, yang merupakan saudaraku itu.
Kuperhatikan wajah tampannya. Memang, dia sudah _tak_ lagi muda. Namun, masih terlihat menawan dan kharismatik untuk menarik perhatianku. Sekalipun dia berdarah biru, masih keturunan Keraton Kasunanan Surakarta, penampilannya sederhana dan tidak mencolok.
Sudah lama aku mengidolakannya. Waktu itu aku sedang duduk di bangku SMP, lebih tepatnya tahun 2004, ketika dia membintangi sinetron Gita Cinta dari SMA sebagi tokoh utama laki-laki. Tidak kusangka akan bertemu langsung dengannya.
_Tak_ ingin berdiam diri mematung diantara keramaian, aku pun memutuskan untuk memperkenalkan diri sebagai penggemarnya. Kubawakan segelas Wedang Uwuh untuknya. Sewaktu sampai di depannya, aku terjatuh karena gamis yang kupakai terinjak sendiri. Beberapa orang tampak _cuek_ dan tersenyum mengejekku, tetapi ada yang mencoba menolongku, termasuk Mas Ganteng –sebutanku untuknya--. Untung dia tidak terkena tumbahannya. Diulurkan tangan kanannya untuk mengajakku berdiri. _Tak_ kusia-siakan kesempatan ini.
“Trimakasih, Mas Ganteng.” Aku berdiri sambil merapikan kerudung dan gamisku.
_Untung enggak robek_ batinku tersenyum walaupun malunya minta ampun.
“Kamu enggak kenapa-napa kan? Lain kali hati-hati kalau jalan, ya?” Kata-kata lembut terucap dari bibir seksinya.
“Iya, Mas Ganteng. Upppsss…. Keceplosan lagi.” Aku menutup mulutku dengan sedikit centil.
“Enggak papa kok. Kamu pakai seragam keluarga, masihkah saudara dengan mempelai?” Senyum manisnya sungguh melelehkan hatiku.
“Iya, kenalkan. Namaku Naya. Mas Ganteng enggak usah memperkenalkan diri. Aku sudah tau kok. Mas Ganteng namanya Mas Paundra ‘kan?. Aku penggemarmu, Mas. Sejak penampilanmu sebagai Galih.” Aku menyodorkan tangan kanan untuk memintanya bersalaman.
“Masya Allah. Itu sudah 16 tahun yang lalu, Nay. Boleh minta nomormu?” Ia tertawa hingga terlihat bulir bening di matanya. Terharu mungkin.
“Boleh banget.” Kusebutkan nomor _whatssapp_ ku dengan pengulangan tiga kali, memastikan dia tidak melakukan kesalahan dalam menulis nomor.
“Oke, Nay. Selamat menikmati makanannya, ya? Aku mau pamit. Mau ada acara lagi di luar kota.” Ia membungkukkan badannya dan menyalamiku dengan sedikit bonus sentuhan dari tangan kiri.
***
“Fi, kamu tahu enggak. Tadi aku ketemu siapa di acara pernikahan saudaraku?” Semangatku berapi-api hendak menceritakannya pada sahabatku, Afi.
“Emang ketemu siapa? Happy amat. Jangan bilang ketemu cowok cakep terus minta nomormu!” Afi menjawab asal.
“Bagaimana kamu bisa tahu, Fi? Wah, pantasnya kamu jadi dukun, bahasa kerennya Cenayang.” Aku _mondar-mandir_ di depan Afi yang sedang duduk menghadap laptop di kamar kosnya.
“Halah, ngibul kamu, Nay.” Afi masih tidak percaya.
“Aku tadi ketemu Mas Galih Ganteng,” jawabku sambil mendekat ke muka Afi.
“Galih siapa? Galih Ginanjar? Bukannya dia di penjara?” Afi menghentikan aktifitasnya.
“Enak aja, Galih Ginanjar. Bukan! Ini Galih di Sinetron Gita Cinta dari SMA, Paundrakarna. Walaupun udah tua, tetep ganteng. Awan kalah, Fi.” Aku bercerita layaknya penggemar beratnya.
Aku bercerita cukup panjang, dari mulai insiden _kesrimpet_ gamis hingga salaman yang disertai dengan sentuhan mesra.
“Masak seorang artis minta nomormu, emang kamu siapa? Artis bukan, pejabat juga bukan!” ledek Afi.
“Enak aja!” balasku sambil mencubit Afi.
***
[Assalamualaikum. Ini nomorku, ya, Nay. Paundra. Jangan lupa di_save_] pesan masuk di gawaiku.
[Waalaikusalam. Siap Mas ganteng.] balasanku disertai _emot icon love-love_.
[Jangan sungkan kalau perlu apa-apa. Sekalipun sekedar teman ngobrol,] balasnya.
_Wah lampau hijau, nie._ batinku. Aku semakin bersemangat membalas pesan-pesannya.
[Oh, dengan senang hati. Akan aku manfaatkan kebaikan Mas Ganteng.] Kutekan tombol _send_.
[Iya, enggak apa-apa. Jangan panggil Mas Ganteng, donk. Cukup panggil Mas Andra aja. Oke cantik.] balasnya dengan disusul stiker bergambarkan boneka memberikan tanda cinta.
_Daebak! Sepertinya Mas Andra mulai suka padaku._ batinku kegirangan.
Langsung kutelepon Afi, padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Afi sayong. Mas Ganteng kirim pesan ke aku. Kayaknya doi mulai suka sama aku.” Baru juga telepon diangkat, _tapi_ aku dah langsung _nyerocos_ duluan.
“Boding ah, Nay Aku mau tidur,” Afi bersiap menutup teleponnya.
“Kamu dengerin dulu ceritaku. Jangan tutup teleponnya!” Aku berteriak.
Aku tahu Afi sudah mengantuk dan sepertinya sudah tertidur, _tapi_ aku tetap bercerita tentang Mas Andra.
Sebulan sudah kami selalu _intens_ berkirim kabar, saling berkirim foto, dan bahkan _video call_.
“Fi, sepertinya Mas Andra benar-benar mencintaiku. Bahkan tak jarang dia bercerita ketika aku tidak bisa tidur.” Aku meraih cemilan yang sedang di makan Afi.
“Ngimpi kamu, Nay. Sadar! Dia _publik figur_. Kalaupun iya, paling kamu jadi cewek simpanannya,” jawab Afi asal.
“Huss, ngawur. Jangan asal ngomong. Pamali! Tapi dipikir-pikir, boleh juga. Eh, ogah dink. Aku pengen memilikinya seutuhnya.” Aku meyakinkan diri.
Aku menjadi semakin percaya diri, bahwa hubungan kita lebih dari sekedar penggemar dan idola. Perhatian Mas Andra yang terasa nyata menjadikanku lebih bersemangat dalam menjalani aktifitasku sehari-hari. Mas Andra pun tidak pernah menolakku ketika aku memaksanya untuk mengirim foto kegiatannya.
***
“Mas, kamu lagi di Solo bukan? Sepertinya tadi aku melihatmu dengan seorang cewek di Mall Square.” Kutelepon Mas Andra.
“Kok tahu, Nay.” Mas Andra mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
“Mas Andra jahat! Aku kira Mas Andra mencintaiku, tapi kenapa jalan dengan cewek lain?” Aku mulai marah.
“Nay, bukan begitu….”
Belum sampai Mas Andra menjelaskan padaku, aku sudah menghampiri mereka.
“Nay, kamu mau kemana? Jangan gila kamu, ini tempat umum!” Afi mencoba mencegahku.
Aku langsung lari menghambur ke arah Mas Andra. Kutarik dari arah belakang rambut perempuan yang sedari tadi tersenyum di sebelahnya. Bahkan kutendang kakinya untuk menjatuhkannya ke lantai. Jangan anggap remeh kemampuan silatku.
Semua orang memperhatikanku. Termasuk perempuan yang kini tengah tersungkur di lantai.
“Nay, jangan! Dia adekku!” Mas Andra telat mencegahku.
Giliranku yang tertunduk lemas. Hilanglah kesempatan emasku untuk memperkenalkan diri pada adek lelaki idolaku.
“Nay, aku menganggapmu sebagai adek. Aku menghormatimu karena kamu saudara sahabatku. Tidak ada maksud lain.”
Bogor, 13 Juli 2020
Labels:
Parade Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar