Pengikut Malam (8)
Oleh : Anisa Ratna Pertiwi
Tema : 1/3 Malam
Jumlah Kata : 970 kata
Gegara kejadian di Mall Square kemarin, aku terbangun dari dunia khayalku. Bagaimana mungkin aku mendambakan seorang artis menjadi pendampingku kelak. Kalau dipikir-pikir, _konyol_ juga perbuatanku kemarin. Tanpa minta penjelasan, langsung saja kulumpuhkan adik Mas Andra dengan satu tendangan dan _jambakan_ di rambut panjangnya.
_Mas Andra bukanlah jodohku, sekali pun dia masih _menjomblo_ sampai sekarang._ batinku.
Pukul dua belas malam aku belum tertidur, bayangan Mas Andra memenuhi kepalaku. Kuputuskan untuk berkeliling di jalanan dengan motor kesayanganku sendirian. _Tak_ kurasakan rasa takut sedikit pun karena yang aku rasakan hanya penat dan _pengen_ cari udara malam.
Kususuri Jalan Slamet Riyadi hingga sampai pusat kuliner terbesar di kota ini. Monumen Patung Slamet Riyadi _nampak_ berkilauan efek dari pantulan temaram lampu di sekitarnya. Gapura bertuliskan Selamat Datang di GALABO pun turut menyambutku. Jalanan berasa milik pribadi, sepi dari hiruk-pikuk aktifitas penghuni kota. Tidak terlihat penumpukan kendaraan seperti biasanya. Jalanan yang biasa diberlakukan _forbodden_ pun tidak berlaku ketika malam hari seperti saat ini.
Kuparkirkan sepeda motor di area parkir yang telah disediakan. Kususuri jalanan yang telah dipadati oleh orang-orang yang sedang menikmati kuliner malamnya. Hampir semua kursi penuh. Mereka terlihat bahagia, tertawa dan bersendau-gurau bersama-sama. Mungkin hanya aku yang terlihat kacau di sini.
Tidak hanya penduduk lokal yang terlihat memenuhi Area GALABO ini, tetapi juga penduduk keturunan juga ikut meramaikan suasana. Mereka asyik menghirup shisha -- rokok arab -- secara bergantian. Aku hanya berjalan dan sesekali melihat kerumunan orang-orang tersebut. Melihat orang lain bahagia, sedikit membuatku tersenyum.
Aku pun memutuskan untuk melanjutkan berkeliling kembali. Kali ini ku arahkan laju motorku ke Stadion Manahan. Aku tidak berani berkeliling di sekitar stadion, karena rata-rata yang _nongkrong_ adalah sekelompok pemuda, bahkan tak jarang juga ada beberapa yang sedang asyik berpacaran.
Hatiku masih resah. Namun, _tak_ ku ketahui pasti penyebab keresahan yang sebenarnya. Kali ini motorku melaju pulang, ke arah kosku di belakang kampus. Tanpa kusadari, sedari tadi ada yang mengikutiku dari belakang.
Dengan santainya, aku memasuki kamar kos, tanpa adanya prasangka negatif sedikitpun. Karena hatiku masih terasa resah, kuputuskan untuk mengambil air wudhu. Memang, aku bukanlah orang yang rutin menjalankan shalat malam, hanya sesekali ketika aku masih terbangun di jam sepertiga malam akhir. Selebihnya, sudah pasti _molor_ sampai alarm subuh berbunyi. Akan lebih rajin lagi ketika aku sedang mempunyai keinginan besar, seperti lulus sekolah atau kuliah.
Baru aku mau memulai rakaat pertama, terdengar teriakan dari luar kos.
“Setan…. Setan…. Tolong! Ada pocong!” Teriakan yang terdengar kencang sekali, cukup membuat seisi kos terbangun.
Tidak jadi kulanjutkan shalatnya, aku keluar bersama teman-teman kos. Ternyata pintu kos sudah terbuka, tidak terlihat ada congkelan sedikit pun.
_Jangan-jangan aku lupa ngunci pintu?_ pikirku dalam hati.
“Aneh, siapa yang teriak-teriak tadi?” tanya salah seorang teman kos.
“Enggak tau tuh. Jangan-jangan maling,” timpal yang lainnya.
“Masak iya, maling kabur ninggalin motornya. Bukannya dia untung dapat barang curian, malah rugi motornya ketinggalan.” Semua penghuni kos tertawa terbahak-bahak hingga salah seorang dari kami mengingatkan sesuatu, “Yang dimaksud setan, apa donk? Jangan-jangan ada setan beneran?”
Mendadak kami saling berpandangan. Suasana _mrinding_ tiba-tiba menyusup diantara kami.
“Tau ah. Aku mau shalat dulu. Keburu batal wudhunya.” Aku melangkah meninggalkan teman-temanku.
“Kamu merasakan hawa-hawa mistis enggak?” tanya salah seorang dari kerumunan.
“Jangan nakut-nakutin gitu! Serem ah! Belum apa-apa bulu kudukku meremang semua.” Beberapa langsung kabur.
“Enggak percaya, besok kita lihat dari cctv deh. Biar pada percaya. Biasanya suka tertanggap di kamera tersembunyi. Kalau sekarang aku juga ngeri liatnya.” Temanku ini memang terkenal punya _six sense_.
“Masukin dulu motor orang yang di luar. Biar besok diambil. Itupun kalau berani ambil!” teriakku dari kamar.
Kulanjutkan shalat malamku. Kali ini aku memohon agar segera mendapatkan pekerjaan yang _mapan_, syukur-syukur bisa menjadi pegawai negeri, _tak_ lupa juga untuk meminta jodoh yang mau menerima aku apa adanya.
_Tak_ kurasakan keanehan sedikitpun. Hanya saja suasana malam ini terasa lebih dingin dan hening dari biasanya. Ketika hendak berdiri untuk shalat witir, tiba-tiba aku melihat sekelebat bayangan lewat di sebelahku. Seketika aku mengucap, “Astaghfirullohal’adzim”.
Aku tidak menghiraukan bayangan tersebut, kulanjutkan dengan shalat satu rakaat sebagai penutup shalat malamku.
Tubuh mulai lelah, kelopak mata pun sudah mulai merasa berat untuk terbuka lebar. Kuputuskan untuk tidur sebentar sebelum adzan subuh.
***
“Nay, ayo kita sarapan.” Afi, sahabatku datang mengajakku sarapan bubur ayam di tempat biasa.
“Bentar, masih ngantuk. Lagian hari Minggu juga.” Aku menarik selimut kembali.
“Dasar! Pemalas!” Afi melemparku dengan sebuah bantal.
“Bentar, Fi. Bagaimana mungkin bantal yang selama ini aku taruh di ruang tv bisa sampai di kamar pagi ini?” Aku mulai merasakan hal aneh.
“Kamu lupa kali, enggak sadar bawa bantal ini ke kamar.” Afi duduk di kursi depan meja belajarku.
“Naya… Buruan sini… Kamu mesti liat sendiri!” Terdengar teriakan temanku dari ruang depan.
“Ada apa sih, pagi-pagi dah teriak-teriak?” Afi mendengkus kesal ke arahku.
“Aneh, kamu sendiri ngapain coba? Pagi-pagi dah gangguin tidurku.” Aku bangun dan melangkah keluar kamar.
“Lihat itu di cctv! Apa yang menyebabkan orang semalem teriak minta tolong dan lari meninggalkan motornya” tanya teman kosku.
“Belakangmu ada sosok putih yang ikutan, Nay.” Afi memandangiku.
“Husss, ngawur. Itu pantulan lampu dari kamar.” Aku memperhatikan lebih lama.
_Jangan-jangan semalem ada yang lewat di sampingku itu benar?_ pikiranku bertambah kusut.
“Tapi aneh, Nay. Kamu dari mana jam setengah tiga baru pulang? Mereka ngikutin kamu lho! Coba deh perhatikan!” Temen kosku menunjuk layar berukuran 32 inchi.
“Nyari udara malem. Biasanya lebih segarkan? enggak bising dan enggak banyak asap kendaraan.” Aku masih memperhatikan hasil tangkapan layar.
Kuulang-ulang video rekaman semalem. Belum juga terlihat ada keanehan. Hingga ada sesuatu yang bergerak-gerak seperti sedang melambai-lambai.
“Ini sih, mereka lari bukan lihat pocong. Coba kamu perhatikan lagi bagian ini.” Aku menunjuk ke arah jemuran pakaian teman-teman kos.
“Ya Allah, ternyata ada mukena putih yang digantung. Kalau lampu kondisi dimatiin ‘kan pasti banyak yang ngira ini pocong.” Kami pun tertawa bersama-sama.
“Kita lapor ke polisi saja, biar pemilik motor segera diketahui.” Aku menyarankan ke teman-teman untuk menyerahkan motor dan rekaman cctv sebagai barang bukti.
Bogor, 14 Juli 2020
Labels:
Parade Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar