Bos yang Malang (9)
Oleh : Anisa Ratna Pertiwi
Tema : PoV 1, Benda
Jumlah Kata : 659 kata
“Bos, jangan tinggalin aku!” teriakku yang mendadak ditinggalkan sendirian di depan rumah kos yang berada di sebelah gang rumahku.
Suasana malam yang dingin dan sunyi ini membuatku merinding. Sudah seharian ini aku berkeliling menyusuri jalanan bersama bosku. _Entah_ apa yang ada di pikiran bosku di saat pandemi seperti ini. Dulu aku tidak pernah diajak bos menyusuri jalan tanpa mengenal waktu seperti ini.
Rutinitas harianku sudah terjadwal rapi. Pagi hari aku selalu dibelai dan dimandikan, _tak_ lupa juga bos selalu memberiku energi terbaik di kelasnya. _Tak_ pernah ku meminum premium dengan subsidi pemerintah. Aku selalu mendapat suntikan energi pertamax dengan ron 92. Sekalipun aku hanya motor jaman dulu, yang sudah jarang ditemui lagi, tetapi bos sangatlah menyayangiku.
Kini aku hanya bisa melihat bos yang lari meninggalkanku. Aku masih belum mengerti kenapa bos meninggalkanku sambil berteriak, “Setan! Setan! Ada Pocong! Tolong!” Padahal aku _tak_ melihat apa pun. Aku tahu bahwa bos berniat baik memberitahu penghuni kos yang baru masuk untuk jangan lupa mengunci pintu. Baru sampai depan pintu, bos sudah lari meninggalkanku.
Untung gadis-gadis belia ini membawaku masuk ke dalam rumah. Dinginnya malam sudah tidak lagi kurasakan. Bahkan aku bertemu dengan _seseembak_ cantik yang sedang tertidur pulas. Kurasakan kehangatan dari tubuhnya. Sepertinya ia lelah dan baru saja pulang bepergian. Kupandangi ia yang tertidur pulas di sampingku. Walaupun tidurnya sedikit mendengkur, _tapi_ tidak menggangguku.
_Sepertinya pemilik mbak cantik belum mengganti oli cukup lama, makanya dengkurannya cukup keras,_ batinku.
***
“Siapa kamu?” tanya mbak cantik agak kaget.
“Kenapa kamu bisa di rumahku?” lanjutnya.
“Aku hanyalah motor reot yang ditinggalkan bos lari terbirit-birit di depan rumahmu ini. Bosku bukan orang yang jahat, itu yang aku tahu,” jawabku sedikit memelas. Berharap ia akan iba padaku.
Belum lama kami bertegur sapa, terdengar keributan di luar. Tiba-tiba aku diseret keluar dan dinaikkan ke atas mobil patroli. Kucoba menggapai mbak cantik yang belum sempat ku ajak berkenalan.
Bodinya yang _bohai_ menunjukkan bahwa ia produksi tahun 2000-an, dilihat dari motif atau corak stikernya ia produksi perusahaan yang sama denganku. Kulirik papan namanya, bertuliskan AD 1541 N dengan bulan kelahiran Januari. Sayang, aku tidak bisa melihat keseluruhan.
Firasatku mengatakan bahwa aku akan dibawa ke kantor polisi. Kutangisi keadaanku sekarang. Rasa takut menyelimutiku. Walau pun aku sudah berkali-kali mengunjungi kantor polisi, _tapi_ berbeda kali ini, aku tidak ditemani bos.
_Bos. Di mana kamu? Aku takut._ Kutahan tangisku. Hanya mata pedih yang aku rasakan. Teganya bos meninggalkanku.
***
Sudah sebulan aku tidak berada di tempat semestinya. Kurasakan badanku yang mulai sakit dan remuk. Pagi hingga sore hari aku merasakan teriknya matahari menyentuh kulitku. Sering kali juga kehujanan bahkan harus menyaksikan kilatan petir menyambar-nyambar di angkasa. Malam harinya, kurasakan dingin dan getir yang masuk ke rongga badan besiku hingga seperti mati rasa saja.
Kulitku yang semakin pudar dan pecah-pecah membuatku _tak_ setampan dulu. Kedua kakiku sudah tidak bertenaga lagi, bisa dipastikan sudah tidak ada udara di dalamnya. Energi dalam tangkiku sudah mengering. Aku kehausan.
Sepertinya bos benar-benar _tak_ membutuhkanku lagi. Mungkin dia takut untuk menjemputku di tempat seperti ini. Jika ia memberanikan diri untuk menjemputku, bisa jadi dia harus mengikhlaskan dirinya untuk diinterogasi oleh para petugas. Aku yakin bahwa bos tidak mempunyai niat jahat pada siapa pun. Bos hanyalah orang yang belum mengikhlaskan jabatannya. Ia belum mampu menerima kenyataan bahwa ia bukanlah lagi seorang ketua RT di lingkungannya. Kepeduliannya yang terlalu berlebihan pada orang lain, sering kali diartikan sebagai penguntit. Sudah ketiga kalinya ia memenuhi panggilan petugas untuk sekedar lapor diri bahwa dia bukanlah penguntit. Namun sepertinya bos lupa akan janjinya dengan para petugas. Kali ini jika bos memberanikan diri menjemputku, sepertinya bos akan dihukum tiga bulan kurungan sebagai tindakan tegas dari petugas.
“Bos, aku ikhlas jika kau tidak menjemputku. Terimakasih kasih sayangmu selama ini yang telah merawatku.” Mataku sudah _tak_ kuat lagi untuk bertahan.
Inilah akhir perjalananku sebagai motor kuno yang memang semestinya sudah berakhir sejak dulu, entah sebagai rongsok yang dikanibal atau pun seonggok barang yang _tak_ lagi menarik minat siapa pun. Beruntunglah teman-temanku yang menjadi barang koleksi para kolektor motor.
Bogor, 15 Juli 2020
Labels:
Parade Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar