Kau Tolak Cintanya (10)

 Oleh : Anisa Ratna Pertiwi


Tema : Penyesalan
POV : 2
Judul : Kau Tolak Cintanya
Jumlah Kata : 663 kata


Malam semakin larut, hanya terdengar bunyi rintik air hujan membasahi daun yang mulai layu dan mengering. Jikalau daun akan merasa bahagia ketika tersentuh air, lain halnya dengan gadis berkerudung yang diam di atas tempat tidur.
Sesekali terdengar suara tangisan dari sudut kamarmu. Biasanya tidak pernah terlukis aura kesedihan di wajahmu. Namun, kali ini berbeda. Kondisi kesehatan _tak_ lagi kau hiraukan. Sudah seharian ini pintu kamarmu tertutup rapat. Kondisimu sungguh memprihatinkan. Posisi tubuhmu tidak berubah sedikit pun sejak tadi pagi. Kaki yang terlipat dan kau dekap, ditambah dengan kepalamu yang kau tenggelamkan ke dalamnya, sungguh terlihat pilu. Ditambah dengan alunan lagu yang kau putar, terdengar sendu dan menyayat kalbu.
Sayup-sayup lagu D’Masiv berjudul Cinta Ini Membunuhku terdengar berulang-ulang _tak_ pernah berganti. _Entah_ apa yang terjadi padamu. Sepertinya kau sedang patah hati.
Bahkan teman kosmu pun sampai rela mendatangi Afi, sahabatmu, untuk sekedar menanyakan kondisimu, syukur-syukur mampu membujukmu agar mau keluar dari tempat persembunyianmu itu.
Ketika Afi datang dan mencoba mengetuk pintumu, kau masih tak bersuara. Lagi-lagi hanya lagu D”Masiv yang terdengar.
_Kau hancurkan aku dengan sikapmu_
_Tak sadarkah kau telah menyakitiku_
_Lelah hati ini meyakinkanmu_
_Cinta ini membunuhku_
Afi berhasil masuk ke dalam kamarmu dengan sedikit bantuan alat pertukangan, alias di_congkel_. Rasa khawatirnya terlihat cukup jelas. Ketika ia ditanya apa yang sebenarnya terjadi padamu pun, ia tidak tahu.
Kau hanya mendekap kedua kakimu yang telah basah oleh air matamu. _Tak_ kau hiraukan keramaian di luar yang berusaha mengusik kesedihanmu.
Kini kau telah sanggup mengatur emosimu untuk bercerita pada sahabatmu. Minuman yang telah dibawakan sahabatmu telah kau habiskan tanpa sisa, _tapi,_ _tak_ secuil pun makanan yang kau lirik dan masuk ke dalam kerongkonganmu.
Terdengar kau mulai mengobrol santai, walaupun tisu di sampingmu sudah _tak_ lagi di tempatnya. Kini kamarmu berubah menjadi lautan tisu.
“Fi, aku tidak bisa meyakinkan Awan untuk menungguku,” katamu dengan suara parau.
“Meyakinkan gimana, Nay? Bukannya kalian juga tidak ada hubungan apa-apa?” Afi bertanya padamu dengan penuh kekhawatiran.
“Iya, memang aku tidak mempunyai hubungan spesial dengannya. Tapi aku tahu, kami punya perasaan yang sama. Aku memintanya menungguku hingga kita lulus kuliah. Nyatanya apa, Fi? Dia lulus kuliah justru melamar gadis lain, bukan aku!” Kau kembali mengalirkan air mata yang _entah_ sudah berapa liter meleleh dari matamu.
“Sabar, Nay. Masih banyak laki-laki lain. Biarkan Awan bahagia dengan pernikahannya bersama Rara, terlebih Rara juga sahabat kita.” Afi mencoba memelukmu agar kau bisa lebih tenang.
“Aku masih tidak menyangka, ku kira selama ini aku sudah cukup meyakinkannya untuk menungguku.” Matamu semakin nanar. Bola matamu terlihat memerah dan kelopak matamu pun mulai bengkak.
“Tahu gitu, Fi. Aku akan nekat berpacaran dengannya, sekali pun orang tuaku melarang untuk berpacaran. Aku akan berpacaran secara diam-diam.” Tangisanmu bukannya semakin berhenti, justru semakin menjadi-jadi.
Kini bukan hanya tangisan, melainkan erangan dan teriakan. Kau bukanlah lagi pribadi yang ceria, tetapi pribadi yang pesimis akan kehidupan cintamua.
“Fi…. Bagaimana aku bisa menghadiri resepsi pernikahannya nanti? Pemadangan tadi di acara wisuda Rara saja sudah cukup membuatku terkejut.” Kali ini kau hapus ingus yang keluar dari dua rongga hidungmu.
“Nay, sabar. Tetap semangat! Aku yakin kamu bisa, terlebih ini demi kebahagiaan Rara. Kamu cantik, pintar, dan mandiri. Pasti akan mudah untuk memperoleh lelaki sesuai dengan kriteriamu kelak. Percayakan pada Allah, Nay.” Afi mencoba mengelus punggungmu, _tapi_ kau justru menjatuhkan badanmu di atas kasur.
“Aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan menerima semuanya.” Kau pandangi langit-langit kamarmu yang kosong.
“Oke. Aku mempercayaimu, Nay. Kamu pasti bisa! Jangan lupa, Allah pasti mempunyai rencana yang lebih baik untukmu kelak!” Afi bangun dari tempat duduknya. Meninggalkan kompres mata yang telah dibelinya dari apotek.
“Makasaih, Fi. Kamu memang terbaik.” Kau mencoba tersenyum sekalipun senyum getir yang _nampak_ di bibirmu.
Terdengar teriakanmu dari luar, “Aku pasti bisa! Cowok enggak cuma dia aja!”
Kau pun bangkit dari tempat tidurmu dan berjalan memasuki kamar mandi. Tidak lagi terdengar alunan lagu D’Masiv lagi, melainkan berubah menjadi lagu Move On milik Soujah.
_Hari yang indah telah menanti_
_Usap dulu air matamu_
_Kita nggak boleh terus disini_
_Lupakanlah masa lalumu_
Kau pun ikut bersenandung mendendangkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar