Outing Class (11)

 Oleh : Anisa Ratna Pertiwi


Tema : Kerajaan
POV : POV 3 Maha Tahu
Jumlah Kata : 951 kata

Terlihat dua buah bus tengah berderet rapi di pinggir jalan, menunggu anak-anak sekolah untuk menaikinya. Hari ini jadwal SD Al Kahfi melakukan _outing class_ ke Museum Keraton Kasunanan Surakarta. Tema yang digunakan adalah Menggali Cinta Budaya Jawa.
Bu Naya terlihat sedang memegang papan jalan berisi daftar nama anak setiap bus dan satu tangannya lagi memegang _toa_ yang diarahkan ke depan bibir tebalnya. Suara lantang dan menggelegar memanggil nama setiap anak yang berada di daftar untuk segera masuk ke dalam bus masing-masing.
Bus sudah terisi semua dan tidak terlihat adanya anak yang masih tertinggal di luar. _Outing class_ ini hanya ditujukan untuk kelas tinggi, yaitu kelas IV (empat) hingga kelas VI (Enam). Setiap bus terdapat tiga orang guru pendamping.
Bus mulai melaju meninggalkan bangunan SD Al Kahfi yang berdiri kokoh _nan_ megah. Jalanan semakin siang semakin ramai, tetapi tidak terlihat adanya kemacetan. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di area parkir Keraton Kasunanan Surakarta, karena jarak sekolah dengan keraton terbilang cukup dekat. Hanya sekitar 45 menit saja waktu yang dibutuhkan.
Bu Naya telah memberikan arahan selama di dalam bus kepada anak-anak. Beberapa hal yang harus senantiasa diperhatikan oleh anak-anak adalah menjaga kesopanan, baik dalam perkataan maupun perbuatan, tidak diperkenankan untuk membawa makanan selama berkeliling di area keraton, dan selalu bersama-sama, jangan sampai terpisah. _Tak_ lupa Bu Naya mengingatkan untuk mencatat hal-hal yang sekiranya penting untuk dicatat, tidak diperbolehkan merekam.
“Anak-anak semuanya, kita baris dulu di samping bus. Nanti kita jalan berpasangan menuju area keraton. Ayo semuanya!” teriak Bu Naya melalui _toa_ yang sedari tadi _tak_ luput dari tangannya.
Semua anak menghampiri arah datangnya suara. Barisan telah terlihat rapi. Sebelum anak-anak dibimbing untuk berjalan berpasangan di pinggir jalan menuju area Museum Keraton Kasunanan Surakarta, anak-anak diminta untuk memperhatikan sekitar area parkir. Sebuah bangunan keraton yang dikelilingi oleh alun-alun, Pasar Klewer, dan Masjid Agung Surakarta merupakan gaya arsitek jaman dulu. Memasuki bagian depan keraton juga terdapat bangunan Sasana Sumewa dan sebuah meriam bernama Kyai Rancawara. Namun, pengunjung tidak boleh memasuki area ini karena dianggap keramat.
Anak-anak mulai berjalan berpasangan menyisir jalan trotoar yang telah disediakan di pinggir alun-alun. Baru seperempat putaran, terlihat ada seekor kerbau yang berwarna tidak umum seperti kerbau pada umumnya, warnanya putih kemerah-merahan.
Seorang anak tiba-tiba mengangkat tangannya tanda ingin bertanya, “Bu, itu kerbau yang sering di panggil Kyai Slamet bukan, Bu?”
Bu Naya menjawab, “Iya. Itu Kerbau bule yang diberi nama Kyai Slamet. Kenapa disebut bule, ada yang tahu?”
Anak-anak menjawab bersamaan, “Karena warna tubuhnya kaya orang bule, Bu. Enggak kaya kerbau pada umumnya.”
Bu Naya tersenyum lebar, “Iya. Ini bukan sembarang kerbau. Kerbau ini dianggap keramat. Biasanya setiap tanggal 1 Suro akan dilakukan kirab pusaka. Nah, Kyai Slamet ini pasti ikut di dalamnya.”
Mereka melanjutkan perjalanan menuju museum. Anak-anak takjub dengan bangunan keraton yang sudah mulai terlihat. Semua bangunan terbuat dari pohon jati yang usianya cukup tua.
Penjaga datang menghampiri rombongan SD Al Kahfi, sekedar membacakan peraturan yang harus dilaksanakan ketika masuk ke dalam Museum Keraton. Peraturan tersebut adalah dilarang mengenakan topi, jaket, celana pendek, kaca mata hitam, dan sandal jepit. Rombongan diperiksa satu per satu. Setelah semuanya dinyatakan lolos dari pemeriksaan, mereka diperbolehkan untuk melihat lebih jauh ke dalam dengan didamping pemandu wisata yang telah disediakan oleh pihak museum.
Di dalam museum, anak-anak asyik menyaksikan benda-benda peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta dan beberapa fragmen candi yang ditemukan di Jawa Tengah. Peninggalan yang terlihat rapi diantaranya adalah alat masak abdi dalem --orang yang mengabdikan dirinya pada keratin dan raja dengan segala aturan yang ada--, senjata-senjata kuno seperti keris, dan juga peralatan kesenian. Koleksi yang _tak_ kalah menarik adalah kereta kencana dan topi keberasan para Raja Keraton Kasunanan.
Kakak pemandu menjelaskan sejarah berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta ini.
“Jadi, adik-adik, Keraton Kasunanan ini merupakan peninggalan dari Pakubuwono III. Awal mulanya, karena keruntuhan Kesultanan Mataram akibat pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677, maka dipindahkanlah pusat ibu kotanya ke daerah Kartasura. Namun, mendapatkan serbuan kembali. Akhirnya pada masa Pakubuwono III memutuskan membangun kembali di Bantaran Bengawan Solo.”
Anak-anak serius mendengarkan penjelasan dari Kak Bima.
“Nanti, adik-adik bisa baca lebih lanjut di brosur yang telah dibagikan tadi,” lanjut Kak Bima.
Anak-anak melanjutkan ke Sasana Sewaka yang berada di samping museum. Mereka diminta untuk melepaskan alas kaki untuk berjalan di hamparan pasir halus yang diambil dari Gunung Merapi dan Pantai Parangkusumo. Namun, pengunjung tidak diperkenankan untuk membawa pulang pasir tersebut.
Tempat terakhir yang dikunjungi adalah sebuah menara yang digunakan oleh _Susuhunan_ --gelar khusus untuk para penguasa Surakarta-- untuk bersemedi dan bertemu Nyai Roro Kidul, penguasa Pantai Selatan. Menara tersebut diberi nama Panggung Sanggabuwana. Selain untuk bersemedi, menara tersebut juga digunakan untuk mengontrol keadaan sekeliling keraton.
Bu Naya terlihat larut dalam penjelasan yang diberikan Kak Bima. Namun, ada sedikit keanehan. Matanya terlihat kosong, seperti sedang melamun. Mendadak Bu Naya menangis tersedu-sedu. Khawatir terjadi sesuatu, anak-anak segera dibimbing untuk kembali ke bus wisata.
Kak Bima dan beberapa abdi dalem keraton mencoba menenangkan Bu Naya.
“Bu, sadar, Bu.” Salah seroang abdi dalem memegang pundak Bu Naya.
“Tangisan Bu Naya semakin menjadi.” Semua orang _nampak_ kebingungan.
Khawatir kalau-kalau Bu Naya kesurupan --kemasukan makhluk halus--, Kak Bima mencoba memegang tangan Bu Naya untuk membacakan Ayat Kursi, tetapi langsung ditepis dengan keras.
“Asgtahfirulloh, mungkinkah Bu Naya…,” belum selesai Kak Bima berbicara, Bu Naya sudah menghapus air matanya. Suara tangisannya berubah menjadi tawa.
Suasana di ruangan semakin mencekam. Beberapa abdi dalem terlihat saling bertatapan.
“Tidak pernah hal seperti ini sebelumnya. Tidak mungkin Bu Guru itu kesurupan,” celetuk salah seorang abdi dalem.
Bu Naya mendongak ke atas dan melihat ke sekeliling.
“Maaf semuanya, saya tidak apa-apa. Saya hanya sedang terbawa emosi karena teringat dengan teman yang pernah mengajak saya mengelilingi tempat ini.”
“Ealah, Bu Guru. Ternyata lagi baper tho?” Seorang abdi dalem memberikan tisu dan air minum kepada Bu Naya.

Bogor, 17 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar