Kebimbangan (5)

 Oleh : Anisa Ratna Pertiwi


Tema : Ambivalen
Jumlah Kata : 939 kata


Hari ini suasana rumah Rara mulai terlihat cukup ramai. Tetangga mulai berdatangan untuk membantu proses persiapan resepsi besok. Ayah Rara pun sudah berada di rumah sejak kemarin. Dekorasi pelaminan terlihat sederhana _tapi_ tetap mewah. Walaupun berhiaskan bunga plastik, penataannya cukup unik.
Aku dan Afi pergi ke rumah Rara. Sudah ada Awan di ruang tamu.
“Akhirnya kalian datang. Aku belum berani masuk ke kamar Rara, maklum… belum sah.” Awan mencoba bercanda pada kami.
“Maaf… Jalanan macet, belum lagi bingung nyari tempat parker barusan,” celetuk Afi yang menyeret tanganku menuju kamar Rara.
Tok… tok… tok… Kuketuk pintu kamar Rara. Seperti biasa, tanpa menunggu pintu terbuka, kami sudah _nyelonong_ masuk ke dalam.
“Ra, kamu kemarin ke mana?” Awan terlihat cemas.
“Enggak ke mana-mana, Wan. Maaf ya?” Rara bangkit dari tempat tidurnya, sesekali melirik ke arah Awan. Memastikan bahwa Awan tidak marah.
Ada raut sesal dari wajah _kucel_ Rara. Rara terlihat menyesali perbuatannya kemarin.
“Aku khawatir, kemarin nyoba ngubungin kamu buat fitting baju, tapi kamu tidak merespon. Sudah lama kita menunda fitting. Tinggal sehari lagi resepsi kita.” Awan mengingatkan Rara.
Raut muka bimbang _nampak_ di wajah Rara. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini. Pandangannya melayang jauh.
“Ra, kamu denger aku, ‘kan? Coba cerita, apa yang mengganjal di pikiran dan hatimu. Insya Allah kita cari solusinya bersama. Ingat, aku calon imammu. Jangan sembunyikan apapun, berbagilah denganku.” Awan menggeser tempat duduknya lebih dekat ke arahku. Suaranya bergetar.
“Aku bimbang dengan pernikahan ini. Bukan meragukanmu. Tapi....” Rara mengatur nafasnya, mencoba tidak menangis lagi.
Awan menuangkan air minum dan memberikannya pada Rara. Luar biasa, pertunjukan dua sejoli ini. Rasa sayang dan khawatir dari Awan tercurah hanya untuk Rara. Aku dan Afi hanya bisa iri melihat keduanya.
_Andai aja, dulu aku tidak menolaknya._
“Husss, buang jauh-jauh pikiran itu,” gumamku seorang diri.
“Kenapa kamu tiba-tiba bimbang, Ra? Bukannya kamu pernah bilang, kamu ingin segera pergi dari rumah ini. Dan harapanmu itu sejalan dan akan terwujud apabila kamu menikah dengan seseorang yang kamu cintai. Kebahagianmu akan segera terwujud, Ra. Kamu bisa bersanding dengan lelaki idaman nan saleh dan sayang lagi sama kamu,” cerocos Afi.
Awan tersenyum mendapat pujian dari afi, sedangkan Rara hanya tertunduk di lemas di pinggir dipan tempat tidurnya. Awan memilih keluar meninggalkan kami bertiga. Mungkin dia berpikir, Rara akan lebih terbuka mencurahkan _unek-uneknya_ apabila dia menyingkir.
Kamar Rara yang terletak di sudut belakang, membuatnya tenang, tidak terdengar keramaian dari luar. Ayah Rara benar-benar tidak terlihat khawatir dengan kondisi Rara. Tidak sekalipun mendekati anaknya untuk sekedar basa-basi menanyakan persiapan diri Rara untuk resepsi besok.
“Aku bahagia, tapi aku juga takut,” terdengar isak tangis Rara.
Kami mencoba mendekat dan merangkulnya di tengah.
“Tenangkan dirimu dulu Ra, cerita ke kami. Apa yang kamu khawatirkan. Bahagia sudah jelas. Tapi bagaimana dengan ketakutanmu? Ketakutan seperti apa? Mungkin kami bisa bantu.” Kutepuk pundak Rara. Aroma kekhawatiran menyebar di seluruh ruangan.
“Aku takut kalau suatu saat kondisi rumah tanggaku bakal enggak jauh beda dengan rumah tangga orang tuaku dulu. Kamu tau kenapa ibuku meninggal?” Rara mencoba menyembunyikan bulir air matanya.
Kami menggeleng, mengisyaratkan tidak tau maksud dari Rara.
“Waktu itu aku kelas 5 SD. Ibu mulai sakit-sakitan. Tapi ayah enggak pernah peduli kondisi ibu. Ketika ayah pulang di akhir pekan, ia hanya bermalas-malasan. Tak jarang mereka bertengkar. Kesehatan ibu yang semakin memburuk bukan semakin membuat ayah introspeksi diri untuk lebih memperhatikannya. Ayah mulai jarang pulang. Awalnya tiap akhir pekan ayah pulang, makin lama hanya setiap bulan dan akhirnya tidak pernah mempedulikan kita lagi. Uang bulanan yang ayah kirim juga habis untuk berobat ibu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kami dibantu sanak saudara. Aku bisa memperoleh uang jajan juga dari upah mengerjakan PR teman-temanku.” Pandangan Rara kosong untuk sesaat.
Kami membelai rambut Rara dan memeluknya semakin erat.
“Ra, maaf banget aku potong. Kami yakin, Awan berbeda dengan ayahmu. Awan sangat mencintaimu, terbukti dia sangat mengkhawatirkanmu. Kemarin sewaktu kami menyusulmu di taman, itu karena Awan yang memberitahu kalau kamu tidak bisa dihubungi, di rumah pun tidak ada.”
“Coba yakinkan hati dan pikiranmu. Awan tidak akan seperti ayahmu. Dialah jawaban Allah atas doa-doamu selama ini, jodoh yang saleh, yang bisa jadi imam, dan bisa membahagiakanmu. Yakinkanlah! Allah mengirim dia sebagai takdir yang terbaik.” Kutepuk-tepuk punggung tangan Rara dengan lembut. Kuhapus bulir bening yang ada di kelopak matanya.
“Makasih ya sayong-sayongku. Walaupun belum sepenuhnya bisa menghilangkan rasa khawatir dan takutku, tapi setidaknya ada rasa lega. Mungkin nantinya aku perlu konseling untuk menghadapi kekhawatiranku.” Rara membalas tepukanku. Tangannya menggenggam tangan kami.
“Ra, ambil nafas panjang... hembuskan perlahan. Sugesti yang paling kuat itu berasal dari diri sendiri. Kuat dan yakinkan dirimu. Insya Allah ini jalan keluar menuju kebahagiaan. Sudah terbayang kehidupan rumah tangga yang harmonis di depan sana.” Afi yang sedari tadi hanya berdiam pun ikut meyakinkan Rara.
“Tinggal kamu dan Awan yang mengusahakan akan seharmonis apa rumah tanggamu kelak,” imbuhku.
“Iya, insya Allah aku akan berusaha sekuat dan sebisa mungkin. Aku sebenarnya sudah lama memendam kegalauan ini sendiri. Rasa-rasanya frustasi dan pengen teriak sekencang-kencangnya. Perlakuan ayah ke ibu ternyata cukup membekas dan menggores luka di hatiku. Namun, aku masih punya kalian dan Allah.” Rara mulai kembali bersemangat.
“Berarti, kamu kemarin hujan-hujanan di taman juga karna masalah ini?” tanyaku sambil menarik tangan Rara yang siap bangkit dari tempat duduknya.
Rara hanya terlihat tersenyum simpul. Penuh isyarat yang tidak bisa diartikan dengan sederhana.
“Ayo kita fitting baju sekarang. Takut besok pas kamu pakai ternyata kedodoran. Kasihan Awan yang sudah menunggu dari tadi. Dia pasti khawatir. Nanti bisa kalian diskusikan baik-baik. Biar dia tau kekhawatiranmu.” Kali ini giliran Afi yang menyeret Rara keluar dari kamar.
Awan sudah menunggu di depan dengan senyum manisnya.
“Sudah siap, Dek?” tanya Awan.
Tanpa dikomando kami pun langsung meledeknya, “Cie… cie… Dek niye?”
Semua tertawa bersama-sama.

Bogor, 11 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar