Sebuah Ketenangan (4)
Oleh : Anisa Ratna Pertiwi
Tema : Pengidap Phile
Jumlah Kata : 944 kata
“Hmmm…. Segarnya…. Sudah lama tidak ada hujan. Hujan kali ini membuat suasana menjadi nyaman,” kataku.
“Kamu aneh, Nay. Bau ampo-tanah kering terkena hujan- aja kamu suka. Jangan-jangan kalau bisa kamu taruh botol, kamu ambil beneran!” ledek Afi.
Hujan kali ini cukup lebat. Hanya suara tetesan air hujan yang terdengar di luar. Bau ampo kali ini benar-benar menyegarkan dan menenangkan suasana hatiku. Sudah lama kutunggu hujan ini turun. Biasanya tanpa ragu akan kubuka langsung jendela kamar kosku, tetapi kali ini ada Afi yang cukup bawel ketika kubuka jendela di waktu hujan. Alasan yang selalu terucap dari bibir cerewetnya adalah dingin. Kadang heran saja, dia hobi _muncak_ sudah pasti di atas sana dingin, tetapi untuk dinginnya hujan, selalu dia protes.
“Smoga aja enggak sampai ….” Afi belum selesai melanjutkan ucapannya, tiba-tiba terdengar bunyi petir menggelegar.
Dieeerrr…
“Allahumma lataktulna bighodhobika walaa tughlikna bi’adzabika wa’afina qobla dzalik.” Aku dan Afi berdoa bersamaan. Reflek tanpa ada komando.
Afi membenamkan kepalanya di antara bantal guling yang ada di kasur lantaiku.
Terdengan bunyi _ringtone_ dari gawaiku.
“Hallo. Assalamu’alaikum, Nay. Ini Awan.” Suara dari seberang yang terdengar _ngos-ngosan_.
“Wa’alaikumsalam. Kamu kenapa, Wan? Suara kamu yang kaya abis lari marathon.” Aku menarik bantal yang dipegang Afi.
“Rara di kosanmu enggak?” tanya Awan sedikit khawatir.
“Enggak tuh, Wan. Rara di rumahnya. Tadi di telpon ibunya suruh bebersih buat menyambut tamu di acara resepsi kalian nanti.” Aku saling berpandangan dengan Afi.
Afi menguping di sampingku. Baru sadar kalau dari tadi tidak aku _loudspeaker_.
“Bisa bantu nyari Rara enggak, Nay?” pinta Awan.
“Adakah sesuatu yang terjadi?” Bukannya aku bergegas, akan tetapi malah _kepo_ yang didahulukan.
Awan menceritakan tidak lebih dari satu menit karena kami _stop_ di tengah penjelasannya. Aku khawatir terjadi sesuatu pada Rara, lebih-lebih hujan lebat seperti ini.
Afi sudah menungguku di depan pintu kos dengan motornya lengkap disertai jas hujan dan helm.
“Mau kita cari ke mana, Nay? Kamu ada bayangan Rara pergi ke mana?” tanya Afi.
“Kita cari dulu saja di sepanjang jalan dari arah rumah Rara ke pusat kota.” Aku sudah naik di atas motor Afi.
Afi melajukan motornya dengan pelan. Kami sambil menyisir sepanjang jalan, berharap segera bertemu dengan Rara. Nomor Rara tidak bisa dihubungi, terlebih dalam kondisi hujan seperti ini tidak memungkinkan untuk melakukan panggilan.
“Aku ingat Rara pernah cerita. Kalau sedang penat, pasti dia memilih duduk di taman mencari ketenangan.” Aku menunjuk arah taman tempat Rara biasa menenangkan diri tanpa kami.
“Yang bener, Nay? Hujan-hujan gini enggak mungkin Rara di taman.” Afi mempercepat laju motornya.
Motor matik ini cukup nyaman untuk dipakai _ngebut_. Walaupun hujan, kami tidak ragu untuk memacu laju kendaraan dengan cepat.
“Benar, Nay. Itu Rara!” Afi menunjuk sosok perempuan yang sedang duduk di kursi taman.
Kubawakan payung agar Rara tidak semakin kebasahan. Jaket Afi yang biasa dipakai untuk _muncak_ pun langsung aku tarik dari kapstok. Kebetulan jaketnya sudah beberapa hari bermalam di kamar kosku.
“Rara! Apa yang kamu lakukan? Awan khawatir mencarimu!” Aku menatap wajah Rara yang terlihat sudah mulai pucat.
Tiba-tiba tubuh Rara limbung, hilang keseimbangan, dan pingsan. Tanpa pikir panjang, kami membawanya langsung ke _kosanku_.
***
Rara sudah bangun dari tidurnya.
“Minum teh anget dulu, Ra. Ni juga ada jamu biar tubuhmu lebih hangat. Jangan sampai sakit. Dua hari lagi resepsimu.” Kubujuk Rara untuk meminum teh hangat yang telah kusediakan.
Rara meminumnya tanpa sisa.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Ra?” Afi bertanya dengan mimik muka penuh kekhawatiran.
Suasana hening diiringi rintikan hujan menyelimuti kamar kosku. Rara mencoba mengatur nafas. Ada bulir-bulir air yang siap jatuh dari kelopak matanya. Terlihat nanar dan suram.
“Aku tadi mencoba menenangkan diri seperti biasa di taman. Tetiba hujan turun. Kuputuskan untuk berteduh di bawah pohon.” Rara meletakkan gelas yang sedari tadi dipegangnya.
“Kenapa kamu enggak ngubungi kami, Ra?” Afi makin tidak sabar.
Aku pun tidak mengerti dengan jalan pikiran Rara. Kami kira persahabatan kami cukup dekat, bahkan banyak yang mengira kalau kami bersaudara.
“Aku takut mengganggu kalian. Terlebih mendekati hari pernikahanku. Aku hanya butuh menenangkan diri. Banyak yang bilang bahwa mendekati hari pernikahan akan banyak ujian yang menghadang. Mungkin inilah salah satunya,” terang Rara.
“Kamu lupa kalau kami ini sahabatmu?” tanyaku.
“Enggak. Aku hanya malu dengan kalian,” jawabnya singkat.
“Kenapa mesti malu? Pasti ini ada hubungannya dengan ibu dan saudara-saudara tirimu, ‘kan?” selidik Afi.
Rara bercerita cukup panjang. Aku bisa merasakan kekecewaan yang lebih pada diri Rara terhadap ibu dan saudara-saudara tirinya.
“Aku ingat tips dari kamu, Nay. Katamu kamu akan merasa rileks ketika menikmati hujan. Aku pun mengikuti tipsmu. Mulai dari mencium aroma tanah dan hujan. Benar, Nay. Itu berhasil.” Raut muka Rara mulai terlihat ceria.
“Terus, kamu putuskan hujan-hujanan juga?” Aku memegang pundak Rara yang duduk di depanku.
“Awalnya hanya mencium aroma hujan. Tanpa disadari tanganku sudah menengadah mencoba menampung air hujan. Rasanya tenang sekali, ketika butiran air jatuh menyentuh telapak tanganku. Aku pun penasaran, mungkin akan lebih menenangkan ketika aku berdiri di bawah hujan sekalian. Luar biasa, Nay. Ketika wajahku terkena air hujan, waktu di sekitarku terasa berhenti. Aku berlarian ke sana ke mari.” Rara tersenyum bahagia.
“Gila kamu, Ra. Resep Naya kamu ikutin. Udah tau dia penggila hujan. Jangan-jangan kamu ikutan tertular penyakit anehnya.” Afi melempar bantal di sebelahnya ke arah mukaku.
“Kamu belum mencoba menikmatinya, Fi. Nanti suatu saat kamu akan membuktikannya sendiri.” Kubalas lemparan Afi dengan timpukan.
“Benar, Nay. Aku bisa menangis sepuasnya di bawah hujan. Kuluapkan segala energi negatif dan kurasakan ketenangan sesudahnya. Jadi itu selama ini yang kalian rasakan sebagai pluviophile.” Rara memelukku dengan tiba-tiba.
Aku masih _tak_ habis pikir dengan jalan pikiran ibu tiri Rara. Masih belum cukupkah mengusirnya secara halus dengan menikahkan Rara secara buru-buru? Tiba-tiba meminta Rara untuk terus mengiriminya jatah bulanan karena sudah merawat Rara sejak kecil, menggantikan sosok ibu kandungnya.
_Smoga kalian bisa menghadapinya dengan hati lapang_
Bogor, 10 Juli 2020
Labels:
Parade Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar