Bintang Petunjuk (3)

 Oleh : Anisa Ratna Pertiwi


Tema : Sirius dan Kegelapan
Jumlah Kata : 905


“Congratulation, sayong.” Aku dan Rara menyambut hari bahagia sahabat kami. Sayong merupakan panggilan sayang diantara kami. Mungkin terdengar sedikit kekanak-kanakan, tetapi kami lebih bahagia dengan itu.
“Terimakasih, sayong-sayongku. Tidak terasa sekarang aku menyandang gelar S.Pd, setelah tertinggal dari kalian yang lebih dulu memakai toga ini.” Rasa kekhawatir akan kelulusannya hilang sudah tergantikan oleh wajah bahagia. Terlihat sekali dari senyum lebarnya.
“Aku kira enggak bakal bisa lulus setelah hampir menghabiskan sepuluh semester. Rasanya nyerah kalau suruh ngurus penelitian-penelitian kaya kemarin. Mendingan aku disuruh muncak deh.” cerocosnya panjang lebar.
Terlihat seorang laki-laki yang tidak asing datang menghampiri kami. Membawa sebuah buket bunga dan kertas di tangannya, seperti sebuah undangan.
Aku pun mengalihkan pandangan ke sahabat-sahabatku. _Ada apakah ini?_ batinku.
“Hallo…. Assalamu’alaikum,” sapanya.
“Wa’alaikumsalam.” Kami menjawab bersamaan. Sepersekian detik ada keheningan diantara kami. Lebih tepatnya terkejut.
“Selamat ya, Fi. Atas kelulusanmu,” lanjut laki-laki tersebut sambil memberikan buket bunga.
“Terimakasih, Wan.” Terlihat ada yang semakin salah tingkah.
Kuperhatikan undangan yang ada di tangan Awan, bertuliskan nama Nurul Afiyatul Ulya. Tanpa basa-basi, aku pun langsung bertanya, “Itu undangan dari siapa?”
_Jangan-jangan… Awan lulus kuliah langsung nikah. Siapa sih yang enggak mau? Cowok idola di kampus. Udah ganteng, saleh, pekerja keras lagi_ batinku lebih penasaran.
Awan pun menyerahkan undangan yang sedari tadi ada di tangannya.
“Oh iya, tadi di pintu masuk ketemu saudara Rara. Katanya ketinggalan di rumah, suruh nganterin ke kampus,” jelasnya dengan sopan.
Tanpa dikomando, mata kami berdua menatap tajam Rara, mungkin kalau dalam film _action_ akan digambarkan sedang memancarkan sinar laser.
“Rara, apa ini, Ra? Jangan bilang kamu dipaksa nikah sama ibu tirimu!” selidikku.
Suasana bahagia mendadak berubah menjadi rasa khawatir.
“Tenang, sayongku. Itu bener undangan pernikahanku. Maaf enggak kasih tahu kalian langsung. Semua serba mendadak, jadi aku belum sempat cerita ke kalian.” Lesung pipitnya terlihat mencolok diantara senyum manisnya.
“Oke, teman-teman. Aku pamit duluan, ya? Silahkan lanjutkan obrolan kalian.” Awan meninggalkan kami dengan senyum yang mencurigakan.
“Astaga, aku tadi sempat dag dig dug, liat Awan jalan bawa buket bunga sama undangan. Dikira mau ngelamar seseorang diantara kita.” Aku langsung membuka undangan yang bertuliskan namaku.
“Wow…. Daebak…. Luar biasa sandiwara kalian. Kayak nya bakal lulus kalau ikut ajang pencarian bakat.” Tanpa sengaja aku bertepuk tangan. Kaget dan bahagia bercampur jadi satu.
Raut muka Rara berubah, ada sedikit rasa menyesal sepertinya.
“Maaf ya, sayong. Aku bakal ceritain ke kalian selengkap-lengkapnya.” Rara memegang tangan kami.
Kami pun berjalan menuju kantin dekat ruang Auditorium, tempat wisuda tadi. Rara bercerita panjang lebar. Dari awal dia memutuskan menerima pinangan Awan hingga persiapan resepsi mereka.
“Tapi ada yang aneh. Ada hubungan apa kamu dengan Awan, Fi? Sedangkan calon mempelai sesungguhnya Rara?” tanyaku pada Afi sambil memanggut-manggutkan daguku.
“Maksud kamu gimana, Nay?” Rara yang balik bertanya padaku.
“Tadi kamu denger ‘kan? Awan manggil Afi apa? Padahal teman yang lain manggilnya Nurul. Hanya kita, tetangga, dan keluarganya saja yang memanggilnya Afi.” Aku mengetuk-ketukkan jari ke meja sambil bergumam sendiri.
“Owh, itu enggak penting kali. Yang penting sekarang, aku pengen tau sejelas-jelasnya proses kalian. Bukannya kamu bilang belum pengen menikah dulu?” Afi melempar pertanyaan pada Rara.
Rara bercerita, berawal dari pertengkaran dengan saudara-saudaranya terkait perjodohan, Ibu tirinya meminta Rara untuk menikah terlebih dahulu. Terlepas siapapun calonnya, yang penting Rara harus segera angkat kaki dari rumah.
Rara hanya bisa menangis dan mencoba kuat. Ia setiap hari berdoa, memohon kepada Sang Pencipta untuk segara mempertemukannya dengan jodoh dunia akhiratnya. Ia teringat dengan Salat Hajat yang pernah diajarkan oleh mamahnya.
Setiap sepertiga malam terakhir, ia bangun dan memohon agar penderitaannya ini segera berakhir. Sudah cukup bersabar untuk menghadapi ibu dan saudara-saudara tirinya. Ayahnya yang jarang di rumah, membuatnya sulit untuk mengadu atau pun meminta perhatian sekalipun hanya sekedar bertanya tentang kegiatan di kampusnya. Ia takut suatu saat akan menjadi pribadi yang lepas kendali, tidak bisa mengontrol emosinya. Itu artinya akan semakin keruh suasana di rumah.
“Aku tidak berharap bahwa Allah akan menjawab doa-doaku dengan cepat.” Rara menghapus air matanya.
Aku dan Afi mencoba menenangkannya, “Tenang Ra, kami enggak menganggapmu menusuk dari belakang, kok.”
“Iya, toh dari dulu juga Awan sudah ada rasa denganmu. Alhamdulillah Allah menjodohkannya denganmu.” Afi mengelus pundak Rara.
“Sebulan yang lalu, Awan main ke rumah dengan orang tuanya. Kebetulan ada ayah, jadi ayah memintanya untuk segera menyiapkan segala sesuatunya.” Rara masih mencoba mengatur emosinya.
_Luar biasa. Bisa-bisanya ayah Rara berpikir untuk melepas Rara dengan seseorang yang bahkan belum dikenalnya dengan baik _ batinku.
“Bagaimana kamu bisa tau kalau Awan itu jodoh terbaikmu? Kamu sudah Salat Istikharah? Dan apakah sudah ada petunjuk dari-Nya?” Aku sedikit khawatir karena prosesnya terlalu cepat.
“Sudah, Nay. Beberapa kali aku bermimpi melihat bintang paling terang diantara kegelapan malam. Aku merasa bahwa Awanlah bintang itu. Bintang yang bisa menerangiku dan memberiku petunjuk di gelapnya kehidupan yang aku jalani selama ini.” Rara memandangiku.
“Bagaimana mungkinkamu mengartikan bintang itu sebagai Awan?” tanya Afi lebih penasaran.
“Aku merasa Awan lah yang paling menonjol diantara laki-laki yang pernah aku kenal. Dia orangnya enggak pernah aneh-aneh. Kalian ingat? Saat terakhir kali aku menolaknya?” pertanyaan Rara mengingatkanku pada kejadian terakhir kali kami mempunyai perasaan yang sama pada satu cowok.
“Ternyata dia tidak pernah lagi mencoba mendekati cewek lain. Dia selalu memperhatikanku dari jauh,” lanjutnya.
“Bagaimana dengan ibu dan saudara-saudara tirimu?” tanyaku.
“Mereka terlihat bahagia dengan persiapan kepergianku dari rumah.” Terdengar suara isakan tangisnya.
Kami mencoba menenangkannya kembali.
“Enggak papa, Sayong. Allah telah memberimu petunjuk. Inilah jodoh yang Allah beri untukmu.”
“Kami hanya bisa membantu kalian dengan doa. Semoga rumah tangga kalian nantinya diberikan sakinah mawadah warahmah.” Kami memeluk Rara bersama-sama.

Bogor, 9 Juli 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar