Part14 - HUT RI (1)

 #Parade_Cernak_Baswara

#Batch1 #Kelompok_1 #Day15
HUT RI (part 1)

Tepat tanggal 17 Agustus, seluruh bangsa Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Tak terkecuali sekolahku. Pukul 07.00 WIB, anak-anak dari kelas satu hingga kelas enam tengah bersiap mengikuti upacara bendera memperingati HUT RI ke-74. Kali ini ada yang beda. Jika biasanya kelas lima dan enam yang menjadi petugas upacara, kali ini justru Bapak-Ibu Guru yang bertugas menjadi petugas upacara. Aku melihat seragam yang berbeda dikenakan oleh petugas upacara hari ini. Biasanya kami hanya mengenakan selempang bertuliskan Petugas Upacara, tetapi ada hal menarik yang dikenakan hari ini. Semua petugas mengenakan pakaian putih-putih dengan peci hitam dan kain putih merah yang dililitkan di leher. Mirip sekali dengan petugas paskibraka yang ada di televisi. “Perhatian! Semuanya, Siap Grak!” Pak Rahmat menjadi komandan upacara. Barisan hari ini benar-benar rapi. Jika aku perhatikan, mereka terlihat takjub dengan Bapak-Ibu Guru yang ada di hadapan mereka. Begitu juga aku. “Keren sekali,” ucapku. “Betul, Was. Aku setuju!” Hafiz terlihat masih memperhatikan petugas upacara hari ini. Bu Icha terlihat semakin cantik dengan bajunya hari ini. Cocok sekali jadi pengibar bendera bersama dua orang guru lainnya. Tak terasa, upacara berjalan begitu cepat. Pak Erik sungguh memukau. Terlihat sekali wibawanya ketika sedang membaca naskah Teks Proklamasi. Aku semakin mengaguminya. Beliau sosok kepala sekolah yang ramah. “Pengumuman! Pengumuman! Setelah upacara hari ini, kalian dipersilakan untuk berganti kaus olah raga. Persiapan lomba-lomba antar kelas. Seperti yang sudah disampaikan oleh wali kelas kalian masing-masing, anak yang telah terdata sebagai peserta lomba, tidak diperbolehkan mengundurkan diri.” Suara Pak Erik terdengar di seluruh lingkungan sekolah. “Hore!!!” Suara sorak siswa SDN Sukabahagia 01 terdengar bersamaan. Aku sudah berganti kaos bersama teman sekelas. Banyak perlombaan yang bisa diikuti, mulai dari kelereng, balap karung, makan kerupuk, joged bola, estafet karet gelang, merias wajah teman, dan gobak sodor. Karena tidak ada pembatasan keikutsertaan cabang perlombaan, jadi aku mendaftar di semua cabang. “Vir, kamu ikut semuanya?” tanyaku. “Enggaklah! Aku nggak ikutan merias wajah dan balap karung.” Virland terlihat sedang mengikat tali sepatunya. “Kenapa nggak ikut balap karung?” Aku ikut berjongkok di sampingnya. “Ha … ha .... ha …. Pasti gara-gara tahun kemarin kamu jatuh ngglundung, ya?” Hafiz tertawa terpingkal-pingkal. “Kok, bisa?” tanyaku lagi. “Udah, nggak usah dibahas. Malu-maluin!” Virland terlihat sedikit kesal dan pergi meninggalkan kami. Hafiz menceritakan penyebab Virland jatuh sewaktu lomba. “Jadi, karena setahun yang lalu Virland masih lebih gemuk dari sekarang, kaki dialah yang jadi masalah. Ketika baru melompat beberapa meter, karung yang dipakainya robek. Ketika robek itulah, Virland jatuh menggelundung. Semua penonton langsung tertawa.” “Kok, malah diketawain, sih?” Aku juga ingin tertawa, tetapi kasihan juga mendengar cerita Hafiz. “Abisnya lucu. Kamu nggak lihat jatuhnya, sih. Pokoknya lucu.” Hafiz masih belum berhenti tertawa. “Fiz, nggak boleh menertawakan teman yang kena musibah.” Aku menutup mulut Hafiz dengan tangan kananku. Kami berlari mengejar Virland. Suasana sekolah semakin ramai dan meriah. Aku bingung hendak ke cabang lomba mana dulu. Kuputuskan untuk ke cabang lomba kelereng terlebih dahulu. Di sana sudah ada Bu Diana, guru kelas satu. Oh iya, setiap cabang lomba terdapat satu orang guru yang bertanggung jawab. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Terlihat semua anak bahagia. Mereka tertawa melihat tingkah para peserta lomba dan bersorak sorai menyemangati semuanya. Bu Diana memanggil para peserta lomba kelereng mulai dari kelas rendah. Lomba kelereng tidak membutuhkan waktu yang lama. Aku memang tidak ahli di lomba kelereng. Juara pertama justru diraih oleh anak kelas satu. “Ayo, kita ke lomba makan kerupuk!” ajak Hafiz. “Sayang, kita nggak ada yang juara di kelereng.” Virland menggeleng. “Kelihatannya gampang, ternyata susah, ya?” kataku. Lomba makan kerupuk sudah berjalan. Nama kami pun langsung disebut oleh Bu Rita, guru kelas dua. Ada yang menarik di lomba kerupuk ini. Talinya bukan diikat dan digantung, melainkan talinya dari benang jahit yang langsung diletakkan di lidah peserta. Jadi, nantinya, peserta harus menarik sedikit demi sedikit benang tersebut hingga kerupuknya masuk ke mulut. Walaupun benang yang diikat di kerupuk tidak sampai 50 cm, tetapi cukup sulit untuk meletakkan di lidah. Aku menyerah sebelum ada yang jadi juaranya. Rasa-rasanya seperti ingin muntah. Untung masih bisa aku tahan. Pemenang lomba makan kerupuk kali ini Virland. “Hebat, kamu, Vir! Bisa jadi juara pertama!” Kusenggol bahu Virland. “Aku sudah berlatih sejak lama di rumah.” Virland berbisik-bisik. “Pantas aja, kamu bisa juara!” celetuk Hafiz. “Semua itu nggak ada yang instan, Fiz. Butuh usaha dan doa. Nah, usahaku ya berlatih di rumah.” Virland terlihat sedikit menyombong. “Betul. Aku setuju, Vir.” Aku menarik kedua sahabatku ini untuk pergi ke area balap karung. Sudah ada Pak Rahmat di tempat lomba. “Virland, kenapa nggak ikut? Ikutan, yuk!” ajak Pak Rahmat. “Ha … ha … ha …. Mana mungkin mau, Pak. Tahun kemarin, kan, ada tragedi Virland ngglundung.” Hafiz masih tak henti-hentinya menertawakan Virland. “Fiz, nggak boleh gitu. Minta maaf, gih, ke Virland. Kamu dah nyakitin hati Virland.” Pak Rahmat mengingatkan Hafiz. “Kan emang kenyataannya gitu, Pak.” Hafiz masih ngeyel. “Hafiz, ada sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi لاَ تُظْهِرِ الشَّمَاتَةَ لأَخِيكَ فَيَرْحَمُهُ اللَّهُ وَيَبْتَلِيكَ Janganlah engkau menampakkan kegembiraan karena musibah yang menimpa saudaramu. Karena jika demikian, Allah akan merahmatinya dan malah memberimu musibah. (HR. Tirmidzi No. 2506) Takutnya, nanti gantian Hafiz yang kena musibah.” Pak Rahmat memberi nasihat kepada kami. “Maafin aku, ya, Vir. Aku nggak niat bikin kamu sedih.” Hafiz memeluk Virland. “Nah, gitu, dong! Enak dilihatnya.” Aku tersenyum. “Makasih, Pak.” Virland melepaskan pelukan Hafiz. Virland tetap tidak mau ikut lomba balap karung. Memang keahlianku kalau dalam hal lari-larian gini. Alhamdulillah, aku menjadi juara pertama di lomba ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar