Part 6 - Kerja Bakti

 #Parade_Cernak_Baswara

KERJA BAKTI

Sebulan sekali, sekolah mengadakan kegiatan kerja bakti. Kami semua diwajibkan membawa alat-alat kebersihan sesuai tim yang telah dibentuk. Aku masuk ke tim halaman dan tugasnya membawa sabit.
“Pengumuman … pengumuman ….” Terdengar suara Pak Erik dari pengeras suara sekolah.
“Semua siswa harap berkumpul di halaman dengan membawa alat kebersihannya masing-masing.”
Aku bergegas lari dengan membawa sabit yang terbungkus oleh kertas koran. Beberapa teman terlihat membawa sapu lidi dan ember. Seperti hendak berperang. Semua membawa peralatan masing-masing.
Bapak kepala sekolah memberikan sambutan dan berterima kasih kepada seluruh warga sekolah atas kesediaannya membawa alat kebersihan.
“Terima kasih kepada seluruh siswa dari kelas satu sampai enam. Jika bapak lihat, kalian seperti hendak berperang. Ada yang sudah siap dengan ember dan lap pel. Ada juga yang sudah siap dengan sapu lidi dan pengki.”
Kami saling pandang ke sekeliling sambil tersenyum.
“Bapak berpesan, terutama yang bawa sabit atau golok, untuk berhati-hati dalam menggunakannya.”
Tanpa menunggu waktu lama, kami segera bergegas untuk memulai kegiatan kerja bakti.
Aku mendapat bagian membersihkan rumput yang ada di sekitar halaman sekolah bersama teman se-tim.
“Baru kali ini aku ikut kegiatan seperti ini,” kataku pada Hafiz.
“Memangnya di sekolah yang lama, kamu nggak pernah ikut bersih-bersih?” Hafiz melihat ke arahku.
“Enggak, karena udah ada petugas kebersihan. Bahkan, piket kelas pun hanya sekedar membantu guru jika dibutuhkan,” jelasku.
“Wah, enak sekali sekolah di tempatmu yang dulu, Was!”
“Enggak juga, kali! Enak kaya gini, nggak perlu belajar.” Aku tertawa bahagia.
“Dasar! Iya, sih, nggak perlu belajar, tapi capeknya itu lho!” Hafiz melemparkan kerikil ke kakiku.
“Nggak kena!” ledekku.
“Kalian! Bukannya bersih-bersih malah ngobrol!” tegur Pak Rohmat.
“Fawwas ngajakin ngobrol, Pak.” Hafiz menyalahkanku.
“Pasti lagi ngebandingin sekolah yang dulu sama sekarang, ya?” tanya laki-laki yang sedang membawa cangkul kecil.
“Diiih, Bapak kepo, ih! Lagian Bapak dari tadi sengaja nguping, kan?” ledekku.
“Eits, Bapak bukan nguping. Kalian itu yang kenceng, jadi yang lain juga pasti dengar.” Pak Rohmat mengeruk tanah yang menutup selokan di dekat kami.
“Kenapa di sekolah kita ini tetap mengadakan kerja bakti?” tanya Pak Rohmat.
“Karena nggak perlu bayar tukang bersih-bersih, Pak!” jawab Hafiz.
“Hahaha … bisa aja, kamu, Fiz. Salah. Bukan itu alasannya.” Tawa Pak Rohmat menarik perhatian siswa lain melihat ke arah kami.
Pak Rohmat menjelaskan kepada kami sambil tetap mengerjakan bagian tugasnya. Beliau cukup cekatan. Selokan sepanjang itu, hanya dikerjakannya seorang diri.
“Banyak manfaat kerja bakti. Pertama, mengajarkan kalian akan pentingnya menjaga kebersihan. Lingkungan yang bersih akan menghindarkan kita dari penyakit dan pastinya membuat lebih nyaman. Kedua, meningkatkan silaturahmi antar kelas karena setiap kelompok terdiri dari berbagai kelas. Jadi, kalian akan lebih cepat mengenal satu sama lain. Yang ketiga, pekerjaan akan lebih cepat selesai.” Pak Rohmat menjelaskan panjang lebar.
“Dan yang tak kalah penting adalah menghemat anggaran sekolah. Jadi bisa digunakan untuk membeli perlengkapan sekolah lainnya.”
“Itu sih, karena sekolah nggak mau rugi, Pak!” celetuk Hafiz.
“Heh! Nggak boleh gitu! Sekolah membuat kebijakan, pasti sudah berdasarkan hasil musyawarah bersama dan melalui pertimbangan manfaat dan mudhorotnya. Jadi, kamu jangan asal bicara.” Pak Rohmat melihat Hafiz dengan tatapan menakutkan.
“Maaf, Pak. Abisnya capek. Lagian aku di rumah nggak pernah disuruh bersih-bersih sama Mama.” Hafiz terlihat sedikit kesal.
“Aaah! Sakit!”
Aku melihat tangan Hafiz yang mulai mengeluarkan banyak darah.
Pak Rohmat langsung lari ke arah kami. Beliau menggendong Hafiz ke parkiran sepeda motor guru.
“Fawwas, kamu bilang ke Bu Icha. Bapak bawa Hafiz ke puskesmas. Sepertinya lukanya cukup dalam. Perlengkapan UKS kita belum memadai,” kata Pak Rohmat.
“Iya, Pak.” Aku langsung berlari mencari Bu Icha.
Aku dan Bu Icha segera menyusul ke puskesmas. Bu Icha terlihat khawatir.
“Bu, nyetirnya pelan-pelan. Fawwas takut kalau Ibu ngebut bawa motornya.” Aku tidak berani berpegangan pada Bu Icha.
Bu Icha tidak menanggapiku. Namun, kecepatan sepeda motornya mulai berkurang.
Terlihat Hafiz sedang merintih kesakitan ketika salah seorang dokter membersihkan luka di tangan kirinya.
“Kenapa bisa begitu, Fiz? Kamu melamun?” Muka Bu Icha terlihat pucat.
“Mereka sedang asyik ngobrol dengan saya, Bu,” jawab Pak Rohmat.
“Tapi, kenapa bisa sampai seperti ini, Pak?”
“Bapak dan Ibu, mohon tenang sebentar, ya? Kasian muridnya ketakutan,” sela seorang perawat yang berada di dekat kami.
Telapak tangan Hafiz mendapat sepuluh jahitan. Aku yakin pasti sakit sekali.
“Coba, Fiz. Kalau kamu ingat-ingat. Apa yang membuatmu seperti ini?” Pak Rohmat memancing Hafiz dengan pertanyaan.
Hafiz dan aku hanya menggeleng.
“Coba, diingat lagi!” kata Bu Icha.
Kami pun mencoba mengingati setiap percakapan dengan Pak Rohmat.
“Tadi, kan, kita hanya ngobrol manfaat kerja bakti. Nah, Hafiz nggak suka kerja bakti karena di rumah aja nggak disuruh bersih-bersih sama mamanya.” Aku mencoba menceritakan apa yang aku ingat tadi.
“Nah, loh! Berarti Hafiz bekerja dengan setengah hati, ya? Kamu nggak ikhlas ikut kegiatan kerja bakti. Betul begitu, Fiz?” Bu Icha memegang tangan kanan Hafiz yang tidak terluka.
Aku menyadari satu hal, betul juga yang dibilang Bu Icha.
“Kamu ingat hadits yang pernah Bapak sampaikan di kelas? Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bayhaqi

إن الله يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه

(Innallaha Yuhibbu Idza ‘Amila Ahadukum ‘Amala An Yuqinahu)

Yang artinya : Sesungguhnya Allah SWT suka jika seseorang melakukan satu perbuatan, agar berbuat optimal dalam pekerjaannya.”
“Ya Allah, Pak. Masih aja ndalil di puskesmas. Nanti aja. Kasian, tuh, Hafiz! Pasti masih kaget.” Bu Icha mencegah ceramah panjang yang bakal dilakukan Pak Rohmat seperti biasanya.
“Mumpung saya inget, Bu Icha. Lagian ini tepat momentnya.” Pah Rohmat masih membela diri.
Aku dan Hafiz hanya celingukan melihat perdebatan keduanya.
Memang betul, mengerjakan sesuatu itu harus sepenuh hati, ikhlas lillahita’ala. Selain hasil pekerjaan maksimal, pastinya mendapatkan pahala juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar