Part 5 - Fitnah

 #Parade_Cernak_Baswara


FITNAH

Priiit … priiit ….
Bunyi peluit terdengar dari arah lapangan.
Pak Erik sudah menunggu dengan dua buah bola voli.

Aku dan teman-teman berlari menghampirinya.
Hari Kamis adalah jadwal pelajaran olah raga bagi kelas kami.

Pak Erik yang merupakan seorang kepala sekolah, juga merangkap menjadi guru olahraga bagi semua kelas. Sejak beliau ditempatkan di SDN Sukabahagia 01, beliau menawarkan diri menjadi guru olah raga.

“Perhatian! Semuanya, siap grak!” Ketua kelas menyiapkan barisan.

“Sebelum kita memulai kegiatan hari ini, marilah kita berdoa terlebih dahulu. Berdoa mulai!” Kami menunduk dan berdoa sesuai keyakinan masing-masing.

“Selesai!” Barra kembali ke barisan.

Pak Erik memimpin pemanasan terlebih dahulu. Mulai dari gerakan kepala hingga gerakan kaki, berurutan dari atas sampai bawah.

“Anak-anak, bagaimana perasaan kalian hari ini?” tanya laki-laki berkaos biru muda itu.

“Baik dan tetap bahagia!” jawab kami serentak.

“Luar biasa! Tetap semangat!” Beliau mengepalkan tangan kanan dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Pak Erik menjelaskan kalau materi pelajaran hari ini adalah tentang permainan bola besar, khususnya voli.

“Ada yang pernah bermain voli?” Tangan kanannya memegang bola voli sambil sesekali dilempar ke atas dan ditangkap kembali.

Belum sampai ada yang menjawab pertanyaan Pak Erik, tiba-tiba Bu Icha datang.

“Maaf, Pak. Mengganggu sebentar. Saya mau pinjam Virland.” Bu Icha melihat ke arah kami.

“Oh, silakan, Bu. Tapi jangan diapa-apain, ya?” Mendadak sekelas tertawa.

Pak Erik memang terkenal sebagai seorang yang humoris.

“Bapak juga,” lanjut Bu Icha.

“Lho! Saya juga?” tanyanya sedikit kaget.

“Maaf, Pak. Ini tidak ada di agenda sekolah karena memang dadakan, kaya tahu bulat.” Tawa pun semakin pecah ketika Bu Icha berbicara sambil mengedipkan matanya kepada kami semua.

“Oke. Tunggu sebentar. Saya ajarkan mereka cara passing bola dulu,” jawab Pak Erik.

Pak Erik mengajarkan cara melakukan passing bawah. Ketika melihat beliau mempraktekkan, sepertinya mudah. Entah nanti aku bisa atau tidak.

Aku tahu kenapa Virland dipanggil lagi. Pasti terkait masalah kemarin. Bedanya kali ini, ayahnya juga diminta hadir ke sekolah.

Kalau aku pikir, tidak seharusnya Virland merahasiakan perlakuan kakak-kakak SMA padanya. Akibat dari Virland tidak mau jujur dan terbuka, akhirnya ia sendiri yang rugi.

Tidak ada teman sekelas yang mengetahui kejadian kemarin. Aku pun diminta untuk merahasiakannya.

Jam olahraga usai bersamaan dengan jam istirahat. Kami semua kembali ke kelas.
Tiba-tiba ada teman sekelas yang kebingungan seperti sedang mencari sesuatu.

"Uangku hilang!" teriaknya.
"Ada yang lihatkah?" tanyanya pada kami yang ada di kelas.
"Bantuin cari, dong!" pintanya dengan muka kebingungan.

Kami semua mencoba membantu. Ada yang mencari di kolong meja, di tas, dan kantong bajunya. Namun, tidak ditemukan juga.

“Kamu yakin, nggak lupa naruh? Atau malah kamu lupa belum diberi uang saku?” tanyaku.

“Aku yakin sekali kalau aku menyimpannya di kantong baju. Soalnya tadi sudah aku pakai buat beli pensil.” Siska masih mencoba mencarinya di laci meja.

“Tidak mungkin ada yang sengaja mengambilnya. Bisa jadi terjatuh.” Kucoba menenangkannya dan berniat melaporkan pada Bu Icha.

“Pasti Virland. Hanya dia yang ada di kelas!” Gadis berambut panjang itu melihat Virland dengan tatapan curiga.

“Kamu tidak boleh bicara seperti itu. Jangan asal menuduh. Lebih baik kita minta bantuan pada Bu Icha.” Aku pun segera berlalu.

Bu Icha datang.

“Bisa kamu ceritakan, Siska. Kenapa uangmu bisa hilang?”

Siska menceritakan semuanya. Ia tetap bersikukuh mencurigai Virland.

“Siska, kamu tidak boleh curiga seperti itu. Kalau kecurigaanmu salah, itu bahaya. Bisa menjadi fitnah. Ingat! Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.” Bu Icha mendudukkan Siska di bangkunya.

“Virland, ibu percaya, bukan kamu yang ambil. Maafkan Siska, ya?”
Virland terlihat sedih mendengar tuduhan temannya.

“Maaf, Bu. Walaupun Virland kemarin minta uang Edo, tapi bukan berarti uang Siska saya yang ngambil.”

“Nah, kamu dengar, kan, Siska. Belum tentu Virland yang ambil.” Bu Icha mencoba meyakinkan Siska.

“Bagaimana Ibu yakin, kalau bukan Virland yang ambil? Hanya Virland yang ada di kelas.” Siska masih ngotot. Ia memang terkenal dengan perangainya yang keras kepala.

Karena keributan ini terjadi di jam istirahat, jadi banyak kelas lain yang melihat keributan di kelas kami.
Aku semakin kasihan pada Virland.

Tetiba ada salah seorang siswa kelas enam yang masuk ke kelas kami dan berkata, “Berapa uang yang hilang, Bu?”

Bu Icha menjawab, “Sembilan ribu, Nak.”

“Apakah uangnya lima ribuan dan dua lembar dua ribuan, Bu?” tanyanya kembali.

“Betul. Bagaimana Kakak tahu?” tanya Siska.

“Ini uangmu aku temukan di depan ruang ganti.” Kakak itu menyodorkan uang yang terlipat-lipat kepada Siska.

Aku jadi teringat dalil yang tadi Bu Icha sampaikan. Bahwa kita tidak boleh asal menuduh orang tanpa bukti yang kuat karena akan menjadikan fitnah.

وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
(Walfitnatu ashaddu minalqotli)
Yang artinya : Fitnah itu lebih buruk dari pada pembunuhan (Q.S. Al Baqarah 91)

“Bagaimana, Siska? Sekarang apa yang harus kamu lakukan?” Bu Icha menepuk bahu gadis yang terlihat merasa bersalah itu.

Siska menghampiri Virland.
“Maafin aku, ya, Vir? Aku sudah berburuk sangka padamu.”

Virland mengangguk. “Jangan kau berkata seenaknya, sebelum kau cek kebenarannya! Sedih tau! Tidak dipercaya teman sendiri!”

Aku melihat mata Virland menatap Siska dengan tajam dan sedikit kesedihan.

“Silakan kembali ke kelas masing-masing. Sebentar lagi jam istirahat habis.”
Bu Icha berjalan meninggalkan kerumunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar