Part 3 - Ghibah

 #Parade_Cernak_Baswara

#Batch1

#Kelompok_1

#Day4

Ghibah


Semua teman menatap ke arah meja kami secara bersamaan. Pak Rohmat sudah berdiri di depanku dan mengambil kertas yang ada di tanganku.

"Kalian dari tadi, Bapak perhatiin sepertinya asyik banget, ya?" Nada bicara Pak Rahmat terdengar sedikit meninggi.

"Maaf, Pak." Aku hanya bisa nyengir kuda.

Beliau membacakan tulisan yang ada di kertas putih itu dengan suara lantang. Seluruh kelas pun memilih diam, tidak ada yang berani berkomentar.

"Anak-anak yang Bapak banggakan, boleh, nggak, ya, kita melakukan kegiatan seperti yang dilakukan Fawwas dan Hafiz ini?" Pak Guru melihat ke segala penjuru dan bertanya pendapat teman sekelas.

"Coba Hafiz, menurutmu, tindakan kamu ini benar atau tidak?" Beliau berbalik dan bertanya pada Hafiz.

"Maaf, Pak. Saya hanya menjawab apa yang ditanyakan Fawwas." Hafiz menundukkan kepalanya.

Aku menyadari mata Hafiz mulai berkaca-kaca. Jika Pak Rohmat tidak kembali ke tempat duduknya, bisa jadi Hafiz benar-benar menangis.

"Maaf, Pak. Saya yang memulainya. Saya tau ini salah. Tidak seharusnya saya menanyakan kesalahan teman sampai tidak memperhatikan Bapak." Aku berdiri bersiap menerima hukuman.

Namun, laki-laki yang mulai beruban itu memintaku untuk duduk kembali.

"Oke! Bapak maafkan! Tapi kalian juga harus minta maaf kepada Virland juga nantinya. Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW.

ومن ستر مسلما ستره الله في الدنيا والاخرة

(Waman sataro musliman, satarohullahu fiddunyaa walakhirati)

Yang artinya, Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Jadi, apa yang mestinya kalian lakukan?" Pak Rohmat bertanya kembali kepada kami.

"Tidak boleh ngomongin aib orang lain, Pak! Biar aib kita juga dijaga oleh Allah." Aku menyimpulkan hadis tersebut.

"Nah, itu tau! Jadi, Bapak harap, kelas ini tidak ada lagi yang ngomongin aib orang lain, ya!" pinta Pak Rohmat.

Sekelas pun kompak menjawab bersama-sama, "Iya, Pak. Insya Allah."

Namun, tetap saja pikiran soal kejadian tadi pagi masih melayang-layang. “Jangan-jangan, anak yang suka menyendiri di taman belakang kelas itu Edo. Bagaimana aku bisa tahu, dia benar Edo atau bukan?”

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.15, tanda berakhirnya kegiatan pembelajaran hari ini. Karena masih punya makanan ringan yang belum habis saat istirahat tadi, aku akhirnya memutuskan untuk ke kantin mengambilnya.

Sekolah mempunyai aturan tidak memperbolehkan membawa makanan apa pun ke ruang kelas. Semua makanan harus disimpan di loker penyimpanan makanan yang ada di kantin.

Terlihat seorang anak keluar dari kantin sekolah dengan membawa kantong hitam berisi penuh. Jika diperhatikan, sepertinya itu anak tadi yang aku lihat di taman.

"Assalamualaikum. Bu, saya mau ambil jajanan yang tadi dititip di sini." Aku memasuki ruangan terbuka di dekat parkir sepeda.

Kulihat Bu Kantin sedang membersihkan meja dan merapikan kursi.

"Waalaikumsalam." Wanita paruh baya itu pun tersenyum padaku.

"Bu, barusan yang keluar dari sini siapa, ya, Bu? Kok saya sering lihat menyendiri di taman." Kuajukan pertanyaan pada Bu Siti.

"Apakah dia yang bernama Edo?" lanjutku.

Bu Siti masih saja tersenyum. Sejenak ia menghentikan kegiatannya. "Bukan, Nak. Kenapa kamu mengira dia itu Edo?"

Aku tidak bisa menjelaskan alasannya. Hanya bisa salah tingkah karena sudah salah mengira.

"Lalu, siapa dia? Kenapa sering terlihat murung?"

“Nak, peduli boleh. Namun, perlu diingat. Jangan sampai ikut campur urusan orang lain. Terlebih menceritakan keburukan orang lain. Dosa!” Bu Siti mengingatkanku.

“Kalau nggak salah ingat ceramah Pak Ustaz di masjid sekitar rumah, Beliau bilang kalau kita menggunjingkan orang lain, itu sama aja memakan bangkai saudaranya sendiri. Nggak mau, ‘kan?”

“Tapi, Bu, saya masih penasaran dengan anak tersebut,” jawabku lemah.

"Kamu satu kelas sama Virland, 'kan? Nah, Vito itu adiknya.”

"Tapi kenapa berbeda jauh dengan Virland, Bu? Virland selalu ceria, sedangkan Vito lebih sering terlihat murung." Aku masih heran dengan dua bersaudara itu.

"Nak, kalau kamu masih penasaran, tanyakan langsung pada Virland atau Vito, ya?" jawab wanita yang sudah bersiap menutup kantinnya.

"Maaf, ya, Bu. Dan terima kasih atas nasihatnya." Aku berpamitan.

"Assalamualaikum."

Kutinggalkan Bu Siti yang masih mencoba mengunci pintu ruangannya.

"Waalaikumsalam."

Mama sudah menungguku di depan sekolah.

Terlihat senyumnya mengembang. Mama menyambutku dengan tangan kanan, tanda mengajak bersalaman.

"Assalamualaikum, Mama." Aku pun meraih tangan kanannya dan kucium dengan bibir, bukan menempelkannya pada pipi atau dahi.

"Waalaikumsalam. Gimana sekolahnya?" Tangan lembutnya melepas tas sekolahku dan meletakkan di cantelan motor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar