Part 2 - Virland

 #Parade_Cernak_Baswara

#Batch1

#Kelompok_1

#Day3

Virland

Sudah satu pekan aku bersekolah di sini. Sudah mulai banyak teman dan guru yang aku kenal.

Ada salah seorang teman yang menarik perhatianku. Anak laki-laki bertubuh mungil itu selalu duduk seorang diri di taman belakang kelas. Tidak terlihat seorang pun yang berteman dengannya. Bukan pula teman sekelasku. Karena rasa penasaran, aku mulai mendekatinya. Namun, ia tidak bergeming dan tetap cuek.

“Assalamualaikum. Bolehkah aku duduk di sini?” Kutunjuk bangku merah di depannya.

Tidak terdengar ada jawaban dari mulutnya yang masih terkunci, ia lari meninggalkanku.

“Lho, kenapa pergi?” Tangan kananku mencoba menghalanginya.

Aku hanya terheran dengan sikapnya.

Jam istirahat telah usai.

Jadwal Pak Rohmat masuk ke kelas lima untuk pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti. Aku pun bergegas kembali ke kelas. Ternyata Beliau sudah berdiri di depan kelas.

“Assalamualaikum. Maaf, Pak. Fawwas terlambat kembali ke kelas.” Aku mengetuk pintu dan membungkukkan badan tanda permintaan maafku tulus.

“Waalaikumsalam.” Pak guru yang identik dengan tutup kepala berwarna putih itu menjawab salamku dan mengangguk.

“Iya, tidak apa-apa. Silakan duduk di bangkumu, Nak.”

“Terima kasih, Pak.” Aku berjalan menuju tempat duduk.

Terlihat bangku Virland masih kosong. “Ke mana Virland, ya? Kok, belum masuk,” gumamku.

“Silahkan bagi yang beragama non muslim, boleh langsung menuju ke perpustakaan. Sudah ada Bu Christin yang menunggu.” Pak Rohmat mempersilahkan siswa non muslim untuk meninggalkan kelas.

Walaupun di kelasku hanya ada dua siswa non muslim, tetapi sekolah tetap memfasilitasi terpenuhinya hak belajar mereka. Bu Christin merupakan guru kelas satu yang merangkap menjadi guru agama Kristen di sekolah ini karena hanya beliaulah yang non muslim di sekolah negeri ini.

“Pak, Virland belum masuk ke kelas,” ujarku sambil mengangkat tangan kanan tanda menyela pembicaraan Pak Guru.

Pak Rohmat yang sedang menyiapkan lembar kerja untuk dibagikan, langsung berjalan mendekati para siswa.

“Oh, iya, Virland tadi dipanggil Bu Icha dan Pak Kepala Sekolah ke kantor.” Pak Guru menatap kami seraya menunjukkan wajah kecewa.

“Ada apa dengan Virland, Pak?” tanya salah seorang temanku.

“Kalian tidak perlu tahu lebih jauh, tetapi Bapak hanya ingin berpesan dan mengingatkan kalian, bahwa berteman itu dengan siapa saja, tidak boleh membeda-bedakan. Namun, jika ada temanmu yang nakal, kira-kira masih bolehkah kalian berteman dengannya?”

Suasana kelas berubah menjadi hening. Aku masih belum paham maksud Guru agamaku ini. Setauku Virland anak yang baik. Namun, kenapa Pak Rohmat berkata demikian?

“Ada yang akan menjawab pertanyaan Bapak? Bolehkah kalian berteman dengan teman yang nakal?” Beliau mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas.

“Tidak boleh, Pak?” jawab serentak siswa sekelas..

Laki-laki paruh baya itu tersenyum.

“Lalu, siapa yang akan menjadi temannya? Jika kalian tidak mau berteman lagi dengannya?” lanjut beliau.

“Salah sendiri itu, Pak. Kenapa dia nakal!” celetuk salah seorang.

Pak Rohmat mengetukkan spidol di meja siswa paling depan.

“Eits, bukan begitu. Bapak percaya, kalian juga pasti pernah berbuat salah. Karena kalian juga masih proses tumbuh dan pembentukan karakter. Karakter yang bagaimana?”

Suasana kelas menjadi lebih serius.

“Karakter baik atau karakter jelek? Mau jadi manusia yang bermanfaat atau manusia yang merugikan?”

“Saya pengen jadi manusia yang baik dan bermanfaat, Pak!” ucapku sambil berdiri dari tempat duduk.

“Cakep!” Pak Rohmat mengacungkan jempolnya.

“Bukan berarti jika kita melakukan kesalahan satu kali, kesalahan itu akan tetap dilakukan hingga dewasa. Kita semua harus memberinya kesempatan untuk berubah. Allah saja memberi kesempatan bertaubat bagi hamba-Nya. Kenapa kita tidak?”

Kompak semua siswa memanggut-manggutkan kepalanya.

Dari nasihat Pak Rohmat, aku sadar, bahwa semua orang pasti pernah berbuat kesalahan, tetapi mereka juga pantas diberi kesempatan untuk berubah.

“Lalu, bagaimana jika Virland masih saja mengambil uang jajan anak lain, Pak?” Ketua kelas melontarkan pertanyaan lanjutan.

Aku terkejut, ternyata Virland seperti itu.

“Sudah berapa lama Virland seperti itu?” tanyaku berbisik pada teman sebelah.

“Sudah lama. Tetapi baru ada yang laporan,” jawabnya dengan berbisik pula.

“Bapak percaya, pasti Virland akan berubah. Karena sekolah memberikan pembinaan untuk membantu mencari penyebabnya dan mencoba menyelesaikannya.” Pak Rohmat berjalan mendekati papan tulis.

Karena aku masih penasaran, jadi aku mencoba mengorek informasi dari teman sebangkuku.

“Sudah banyakkah yang menjadi korban Virland?” Kutulis pertanyaan tersebut pada selembar kertas.

“Sejauh ini, cuma Edo dari kelas empat.” Disodorkan balasan surat padaku.

“Edo? Yang mana, ya?” tanyaku lagi.

Mendadak kertas itu berpindah ke tangan kekar di depanku.

Aku pun hanya bisa nyengir, “Maaf, Pak.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar