Part 10 - Salat Jumat
Salat Jumat
“Fawwas, nanti pulang sekolah aku main ke rumahmu, ya?” Barclay menggandeng tanganku sembari memakan cilok yang ia beli di kantin.
“Boleh, Clay. Tapi nanti aku tinggalin salat Jumat di masjid, ya?” tanyaku.
“Ih, jangan, dong! Masak ada aku, kamu malah pergi ke masjid!” Barclay berhenti berjalan dan memandangku dengan tajam.
Door!
Tiba-tiba Hafiz mengagetkan kami dari belakang.
“Hayo, pada ngobrolin apa?” Kedua tangannya merangkul kami.
“Aku mau main ke rumah Fawwas. Kamu mau ikut, nggak, Fiz?” Barclay tersenyum dan mengerlingkan matanya.
Hafiz terlihat masih menimbang-nimbang. Ia bergumam seperti sedang berpikir serius.
“Ikut, nggak, ya? Soalnya hari Jumat, aku mesti ke masjid bareng ayahku,” jelasnya.
Aku membenarkan penjelasan Hafiz.
“Dalam Islam, anak laki-laki berkewajiban menjalankan salat Jumat, bahkan ada larangan meninggalkan salat Jumat tiga kali berturut-turut,” kataku.
Kami berjalan melewati halaman sekolah yang ramai oleh teman-teman berebut ingin keluar gerbang lebih dulu.
“Kan cuma kali ini aja, kamu nggak ikut salat. Masih ada hari Jumat minggu depan.” Barclay masih ngotot nggak mau ditinggal.
“Ya kalau kamu nggak mau ditinggal, mainnya jangan hari ini, besok aja gimana?” Aku mencoba menawarkan pilihan lain.
“Tapi, Was, aku pengen mainnya sekarang. Sekalian ngerjain tugas matematika yang tadi dikasih Bu Icha. Aku masih bingung.” Barclay garuk-garuk kepala sambil nyengir.
Aku dan Hafiz saling pandang. Tangan kami bersamaan mendorong Barclay, tetapi tidak sampai jatuh.
“Kalian mainnya keroyokan! Curang!” Barclay protes.
“Ya lagian, kamu masih ngotot aja!” celetuk Hafiz.
“Kalau gitu, nanti sore aja gimana? Kebetulan jadwal ngajiku juga libur.” Fawwas memberikan solusi lainnya.
“Betul, sore aku juga ada waktu buat main.” Hafiz setuju dengan usulanku.
“Hmmmm, kalau sore, aku suka jalan-jalan sama Koko. Bingung jadinya. Lagian ngapain, sih? Kan, salat udah setiap hari juga, malah sehari bisa sampai 5 kali salat. Belum lagi belajar ngaji. Ribet, ya, jadi orang Islam?” Barclay meletakkan jari telunjuknya di ujung bibir.
“Eit, setiap kepercayaan punya cara ibadah masing-masing. Begitu juga kamu. Kamu juga selalu ibadah Minggu, kan?” Kutepuk bahu Barclay.
“Padahal, kalau Minggu, itu waktu paling menyenangkan buat main dan kumpul dengan anggota keluarga,” lanjutku.
“Hehe ... benar juga, ya? Aku ibadah dengan cara yang diajarkan agamaku dan kamu pun demikian.” Barclay meringis memperlihatkan barisan gigi putihnya.
“Deal, ya? Nanti sore saja mainnya.” Hafiz menjulurkan tangannya mengajak kami bersorak bersama.
Barclay terlihat masih sedikit ragu.
“Jadi? Gimana? Kamu mau ke rumahku dan nunggu ketika aku salat Jumat atau sore harinya. Apa malah kamu mau main besok aja?” Kutawarkan kembali pilihan pada sahabat baruku ini.
“Oke. Aku tetep jadi ke rumahmu sekarang. Sambil nunggu kamu, aku bisa mengerjakan tugas.” Barklay memetikkan jarinya tanda dia menentukan pilihan.
Sekarang justru Hafiz yang terlihat kebingungan.
“Aku ikut sekarang? Apa nyusul nanti sepulang Jumatan aja, ya?” tanyanya.
“Terserah kamu, Fiz. Kalau mau sekarang, nanti salatnya di masjid deket rumahku. Kalau mau nanti, ya silakan aja.” Aku memberikan kebebasan untuk memilih.
Akhirnya, Hafiz dan Barclay memutuskan untuk langsung bermain ke rumahku sepulang sekolah.
“Tunggu dulu. Kalian sudah izin sama orang tua kalian masing-masing, kan?” Aku menghentikan langkah kedua sahabatku.
“Belum. Biarin aja! Lagian aku biasa di rumah sendirian.” Barclay menjawab dengan santai.
“Nggak boleh gitu, Clay. Nanti kalau orang tuamu nyariin, gimana?” Hafiz mengingatkan Barclay.
Barclay mengeluarkan gawainya untuk mengirim pesan kepada orang tuanya.
Aku tersenyum melihat tingkah mereka.
“Tunggu aku!” teriak keduanya.
Aku sengaja meninggalkan mereka yang sedang asyik berkirim pesan. Namun, dengan tubuh jangkung mereka, langkah kakiku selalu dapat dikejar.
“Nanti kita mampir ke warung Bu Mei dulu, ya? Tadi Mama nitip beliin siomay.” Tangan kiri Barclay melingkar di bahuku.
“Mama kamu suka jajanan anak SD juga, ya?”
Aku tersenyum mendengar pertanyaan Hafiz.
Semoga kami bisa selalu saling menghormati atas perbedaan ini. Mencoba saling mengerti dan tidak memaksakan kehendak.
Labels:
Parade Cernak Baswara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar