Kabur Sewaktu Berjemur (Part 3)
Oleh : Anisa Ratna Pertiwi
Rutinitas
setiap pagi keluarga kami mulai hari itu pun berubah. Yang awalnya santai saja
di dalam rumah, bahkan masih malas-malasan dan kembali lagi mencari bantal dan
guling, sekarang berubah harus berburu panas matahari. Jadwal libur akhir
semester kali ini diisi dengan berjemur dan olah raga pagi di depan rumah.
Hari
pertama berjemur tidak ada perlakuan-perlakuan aneh dari sekitar. Barulah setelah
mereka tahu dari status WA-ku maupun ceritaku di FB, mulailah sedikit berbeda.
Seperti
yang pernah aku ceritakan sebelumnya, ketika ada anak-anak yg biasa lewat depan
rumah untuk sekedar bermain dari rumah teman satu ke teman yang lainnya, mereka
secara otomatis menutup hidung mereka dengan kaos yang mereka kenakan. Kadang
kala mereka membawa masker tapi justru tidak dipakai, hanya ditenteng saja di
tangannya.
“Maskernya
dipakai donk,” sapaku pada anak-anak yang lewat.
Mereka hanya
tersenyum saja. Anak-anak ini memang yang biasa main dengan Fawwas Aqeel,
walaupun usia mereka diatas 10 tahun, tapi mereka tidak keberatan jika
anak-anakku ikut bermain dengan mereka. Mereka memang anak-anak baik dan ramah,
sayang juga pada anak-anak kecil, yang usia di bawahnya.
“Kenapa
atuh maskernya enggak dipakai?” Aku pun melanjutkan dengan pertanyaan
basa-basi.
“Tadi cuma
dipakai buat ke sekolahan,” jawab salah seorang anak.
Memang di
kampungku ini sudah terbiasa tidak bermasker kalau hanya sebatas keluar area
dekat rumahnya. Mereka akan bermasker jika keluar yang agak jauh, seperti harus
naik motor dan transportasi lain. Padahal namanya virus, bisa ikut numpang ke
siapa saja.
“Kalau
bisa, walaupun kalian main deket-deketan sini tetep pakai masker, ya?” pesanku
pada anak-anak yang sedari tadi berjalan pelan beriringan.
Kami
hanya mengobrol sebentar, itu pun tetap jaga jarak dan kami pun bermasker.
Jika
seusia mereka saja sulit untuk diajak bermasker, apalagi dengan Fawwas dan
Aqeel. Perjuangan yang cukup sulit bagi kami meminta Fawwas dan Aqeel untuk
bermasker, sampai saat ini belum menemukan formula yang benar-benar ampuh
kecuali dengan ancaman.Okelah, Fawwas sudah bisa diberi tahu, tapi tidak dengan
Aqeel.
***
Ada
kejadian yang cukup menghebohkan di saat kami berjemur. Bagaimana tidak heboh,
anakku yang paling kecil tahu-tahu ngumpet di deket rumah pengasuhnya dulu. Antara
dia ingin bermain petak umpet dengan kakaknya atau karena dia mulai bosan
diajak berjemur dan berolah raga.
Aku refleks
teriak mencarinya, “Aqeel … Aqeel … Aqeel ….”
Barulah
diteriakan ketiga Aqeel muncul dari arah kiri rumah.
Sudah
bisa dipastikan, reaksi tetangga ketika aku kecolongan dengan kaburnya Aqeel.
Terlihat kekhawatiran di wajah para tetangga yang melihat kejadian itu.
Kebetulan kala itu mereka sedang berkumpul di salah satu rumah warga, dan …
lagi-lagi tidak bermasker. Sedih ‘kan?
Tanpa
mereka menjelaskan pun, aku tahu. Mereka khawatir kalau-kalau virus tersebut
beterbangan kemana-mana. Aku pun benar-benar menyesal dan takut kalau
kekhawatiran mereka terjadi.
Semoga tidak terjadi apa-apa ke depannya, batinku.
Karena
aku kecolongan sewaktu pergi ke kamar mandi dan yang menemani berjemur adalah
ayahnya, aku pun tanpa di aba-aba langsung ngomel. Saking gregetannya, Aqeel pun aku cubit
berkali-kali.
Nangis?
Jelas. Nangisnya nggak tanggung-tanggung, kenceng banget. Mungkin efek
cubitanku yang nggak cuma sekali, belum lagi lihat mamahnya melotot.
Ayahnya
menanggapinya dengan sedikit lebih santai dibandingkan aku yang sudah
uring-uringan.
“Gimana
sih, Yah? Jagain anak-anak enggak tahu kalau anaknya kabur!” Suaraku sudah
meninggi.
“Dikirain
ngikutin Mamah ke dalam rumah. Ayah pindah jemur ke kebun soalnya depan rumah
kita enggak ada panas.” Ia mencoba menenangkan Aqeel yang udah nangis kejer.
Dasarnya
aku yang memang moody banget, jadi
gampang banget untuk berubah mood,
dari yang awalnya seneng langsung marah.
“Besok
lagi, kalau berjemurnya keluyuran, Mamah iket di bawah pohon! Biar enggak
jalan-jalan! Tuh liat, tetangganya pada khawatir!” cerocosku pada anak-anak.
Mau
diomelin sepanjang apapun, namanya anak-anak belum tentu langsung ngerti apa
yang diomong orang dewasa. Belum lama aku ngomel, tetiba gawaiku berbunyi.
Pesan WA pun masuk.
[Bu,
jagain anak-anaknya yang bener dong. Jangan sampai kabur. Tetangga pada takut.]
Kurang
lebih begitulah bunyinya.
Aku masih
menanggapinya dengan tenang, karena memang menyadari kami salah. Kubalas pesan
itu dengan tenang.
[Iya. Maaf ya. Kecolongan Aqeel
kabur sewaktu ditinggal ke kamar mandi. Semoga besok-besok lebih bisa diberi
tahu. Terima kasih sudah diingatkan.]
Balasan
pun datang dari seberang.
[Memang
susah sih, Bu. Namanya anak-anak.]
Alhamdulillah,
masih ngertiin kecerobohan ini. Ngertiin dalam artian tidak membalas dengan
nyinyiran saja sudah cukup menenangkan. Walau pun di belakangnya ngomong apa
pun, asal aku nggak tahu sih aman.
***
Setiap
pagi berjemur di depan rumah dan kadang harus bergeser ke kebun depan rumah
juga menimbulkan perasaan negative di hatiku. Perasaan enggak enak karena
berjemurnya harus di kebun orang dan perasaan untuk menanggapi perlakuan aneh
lainnya.
Selain
kejadian anak-anak tersebut, ada juga kejadian dimana seorang pedagang bakso
tidak berani lewat di depan kita yang sedang berjemur. Kami merasa tidak
mengenalnya, karena ia bukan orang sekitar sini. Ia rela berhenti dan menunggu kami
masuk rumah untuk berani lewat. Entah ia mendengar berita apa, tapi lucu saja.
“Berpikirlah
bahwa orang tersebut tahu kalau kita positif dan berhati-hati agar tidak ikut
terpapar.” Suamiku tersenyum melihat tingkah pedagang itu.
“Mamah
baru lihat hari ini, Yah. Emang udah berapa kali Ayah lihat ida?” Aku jadi
penasaran.
“Udah
beberapa kali kok, Mah. Sebelumnya dia berenti di depan rumah Arya, padahal
sepi enggak ada yang beli. Bisa jadi ya gitu, nunggu kita masuk. Sebelumnya juga
nungguin di bawah pohon manga situ.” Ia menunjuk pohon manga yang dimaksud dan
melanjutkannya dengan mengangkat kedua tangannya sampai bahu.
“Masak?” Aku
pun makin penasaran.
“Hari ini
memang lebih ketara, karena ia berenti tepat di perbatasan rumah kita dan
kebun. Jadi kelihatan banget anehnya.” Ia pun melanjutkan.
“Iya,
tiba-tiba berenti dan pakai masker di situ. Tapi enggak buru-buru jalan lagi,
malah ngliatin kita. Kayak nunggu kita masuk rumah. Efek kita enggak masuk-masuk
jadi dia lanjut deh.”
Matahari
masih malu-malu. Sudah hampir setengah jam berjemur dan pemanasan, belum kerasa
keringat keluar, jadi kami putuskan untuk masuk sambil menunggu panas matahari
keluar lagi.
Menjaga
perasaan itu perlu, tetapi lebih penting lagi kalau kita lebih bisa mengatur
emosi dan pikiran kita. Berawal dari hal-hal tersebut itulah, aku mulai belajar
cuek untuk tidak menanggapi hal-hal seperti itu. Cukup buat diri kita senang
agar daya tahan tubuh kita meningkat itu lebih penting. Diantara banyak
perlakuan, pasti akan ada saatnya menyinggung perasaan kita. Asalkan kita bisa
mengelola hati dan pikiran, insya Alloh tidak akan mempengaruhi kita.
Semangat bu..sahabatku juga positif covid, tapi alhmdulillah sekarang sdh sehat..semoga kita semua selalu sehat ya
BalasHapus