Dieng, Negeri di Atas Awan (13)
Oleh : Anisa Ratna Pertiwi
Tema : Travelling to Dieng
Jumlah Kata : 978 kata
Menghadapi kenyataan bahwa seseorang yang kita cintai menikah dengan sahabat sendiri merupakan hal yang sulit. Setelah lelaki idamanku, yang selalu masuk dalam setiap lantunan doaku tiba-tiba menikah dengan sabahat sendiri, membuatku sedikit terguncang. Sekalipun aku sudah bisa menerima kenyataan tersebut, ada kalanya akan terngiang kembali kenangan tersebut.
Aku sudah menghubungi Afi untuk menemaniku melakukan perjalanan rohani. Halah, bahasanya terlalu dalam, padahal perjalanan menenangkan diri.
“Kamu kenapa lagi sih, Nay?” tanya Afi sambil menyiapkan perlengkapan berkemahnya.
“Pengen aja liburan ke Dieng sama kamu. Toh kamu yang udah menguasai bidang ini!” celetukku.
“Beneran nih kita naik motor? Enggak _nravel_ aja?” Afi masih mencoba menata tenda dan SB di dalam tas ranselnya.
“Iya, duitnya udah buat beli tiket ke festival dan _booking_ kamar.” Kutepuk pundaknya.
Semua perlengkapan sudah dipersiapkan. Walaupun kita sudah _booking_ kamar, _tapi_ aku pengen berkemah di bawah Puncak Sikunir.
“Kalau kita tidak berlama-lama istirahat di jalan, cukup dua setengah jam kita bisa sampai di Kawasan Dieng.” Aku meletakkan tas ransel di bagian pijakan motor matikku.
Kupacu motor kesayanganku melintasi jalanan di wilayah selatan Kabupaten Batang. Jalan yang cukup asyik dengan banyaknya tikungan dan tanjakan ini membuatku melupakan perasaan sedihku.
Kawasan Kembang Langit mulai terlihat, itu artinya kami baru sepertiga perjalanan. Pemandangan di sepanjang jalan sangat indah. Hamparan sawah dan kebun dengan diselingin hutan pinus membuat kami_tak_ henti-hentinya takjub akan lukisan Allah. Kami memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu di Kawasan Wisata _Forest Coffee_ sekedar untuk mendinginkan mesin motor dan meluruskan kaki.
Sekitar tiga puluh menit melanjutkan perjalanan dari _Forest Coffee_, terlihat ada sebuah telaga yang airnya mulai surut dengan beberapa tenda berada di sekitar telaga. Telaga tersebut bernama Telaga Dlingo, hanya dapat dijumpai apabila melewati jalur Gerlang.
Jalanan yang kami lewati kali ini cukup terjal, _nampaknya_ aspal yang menutup jalan sudah mulai tergerus oleh alam. Hanya meninggalkan bebatuan.
“Nay, gila kamu. Emang enggak ada jalan lain selain lewat sini?” Afi memegang pinggangku dengan erat.
“Ada, tapi lebih jauh.” Aku menjawab singkat karena lebih memilih fokus ke jalan.
“Deuh… Kaya cintamu aja, terjal, berliku, dan berakhir kandas.” Afi meledekku.
“Husss, diem. Liat aja pemandangan sekitar. Nyesel entar kalau kamu enggak fokus.” Aku mencoba mengalihkan arah pembicaraan Afi.
“Bener, Nay. Sekalipun jalanan dan cintamu terjal dan berliku, bukanlah apa-apa dibandingkan pemandangan ini.” Afi berdecak kagum melihat sekitar.
Hamparan bunga liar berwarna putih _nampak_ menghiasi sisi jalan. Jalur bebatuan ini cukup panjang dan sepi. Hanya beberapa kali terlihat para petani yang sedang memanen padi dan memanggul kentang dengan keranjang. Tradisional sekali.
“Fi, coba kamu perhatikan di depan. Ada kepulan asap yang membumbung tinggi. Nanti kita berhenti sebentar di sana.” Aku menepuk kaki Afi.
“Itu Kawah yang kamu maksud Nay? Benar-benar pengalaman luar biasa. Coba pemerintah kabupaten bisa lebih memperhatikan akses jalannya, ya? Pasti bakal lebih ramai.” Afi turun dari motor.
“Ya begitulah, sebenarnya tadi ada jalan lebih bagus, tapi kalau kita lewat sana, enggak bakalan bisa lihat Kawah Condrodimuko ini.”
Aku menutup hidungku dengan syal. Bau gas karbon dioksida yang keluar dari dalam kawah cukup menyengat. Untung saja lingkungannya masih terbuka lebar, jadi tidak terlalu berbahaya. Dalam kawah terlihat jelas ada air yang mendidih meletup-letup ke atas. Di sekitarnya _nampak_ tergeletak keranjang-keranjang sesajen. Kami tidak berlama-lama di sana karena bau gasnya semakin menyengat.
Sekarang giliran Afi yang di depan. Kami melanjutkan lagi perjalan ke Kawasan Dieng agar tidak terlalu sore. Terlihat rumah-rumah beratapkan seng menyebar di sepanjang jalan. Penduduk memilih menggunakan atap seng karena lebih mudah menyerap panas, mengingat suhu di daerah Dieng ini bisa mencapai nol derajat.
“Nay, ntar kita langsung ke Sikunir bukan?” tanya Afi.
“Iya, ntar kita bikin tenda di bawah. Nunggu kabut turun sambil istirahat bentar. Malamnya, sekitar jam 2 kita naik ke Puncak Sikunir.” Aku menjelaskan rencanaku.
***
Tenda sudah berhasil kami bangun. Aku bergantian dengan Afi untuk sekedar merebahkan badan dan memajamkan mata. Beberapa tenda juga sudah ada di sana. Jadi, kalau pun Afi aku tinggalin tidur, dia pasti akan punya teman _ngobrol_.
Banyak rombongan pecinta alam yang juga mendirikan tenda bersama kami di sekitar Lembah Seroja. Tujuan mereka juga sama, ingin melihat keindahan matahari terbit.
Pukul dua dini hari, kami beramai-ramai mendaki menuju Puncak Sikunir. Bagi pendaki pemula sepertiku, ini cukup tinggi dan melelahkan. Jaket dua lapis yang aku pakai, rasa-rasanya masih kurang tebal. Sepertinya suhu kali ini mendekati nol derajat.
Senter yang kupakai di kepala cukup efektif untuk menunjukkan kondisi jalan hingga menuntunku sampai puncak.
Aku duduk di sebuah batu. Afi masih berdiri memegang kamera, siap-siap membidik matahari yang sebentar lagi muncul. Semburat jingga sudah mulai terlihat. Embun di dedaunan mulai menyeruak ke hidung, menyegarkan aliran pernapasanku. Segar sekali. Samar-samar mulai terlihat butiran es dari embun yang menempel di dedaunan.
“Wah, embunpun berubah jadi es, Fi. Pantas aja dingin banget,” kataku.
“Nay, ada yang lebih keren. Lihat itu!” Terlihat matahari yang _nampak_ malu-malu.
Walaupun sama-sama matahari terbit, pemandangan antara di pantai dan di puncak sangatlah berbeda.
Aku merasakan seperti berada di negeri atas awan. Awan putih yang terlihat seperti kapas berjalan perlahan, menambah keindahan di sekitar matahari yang bersinar. Kabutpun mulai memudar.
***
Kami melanjutkan ke penginapan, siap untuk berisitirahat sebelum besok berjuang masuk ke Kawasan Festifal Budaya Dieng. Tiket mahal _enggak_ jadi masalah dibanding dengan pertunjukan yang akan kami saksikan nantinya.
***
“Fi, ayo! Mumpung masih pagi, kita jalan sekarang aja. Kalau kesiangan pasti makin ramai, jalanan makin padat.” Ajakku.
“Emang di festival nanti ada apa aja?” Afi segera memakai sepatu.
“Hari pertama kita bisa nikmati Jazz Atas Awan. Hari kedua bakal lebih seru lagi, selain ragam pertunjukan seni, malamnya akan ada festival lampion. Barulah hari ketiga akan menjadi puncak acara, yaitu Jamasan dan Ruwatan Rambut Gembel, yang dipercaya sebagai bentuk buang sial oleh masyarakat sekitar.” Kujelaskan sekilas sambil kusodorkan _flyer_ jadwal _Dieng Culture Festival_.
Pelataran Candi Arjuna tengah siap menyambut para pengunjung _Dieng Culture Festival_. Beberapa pengunjung sudah memadati pelataran, menempati _spot-spot_ favorit untuk menyaksikan pertunjukkan nanti malam. Beberapa stan sudah terisi berbagai _souvenir_ dan komoditas pameran yang siap dipinang para pengunjung.
Bogor, 19 Juli 2020
Labels:
Parade Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar