Part 7 - Adopsi Kucing
Adopsi Kucing
Suasana sekolah mulai sepi. Hanya tinggal aku dan beberapa orang teman yang sedang menunggu jemputan. Terik matahari semakin menyengat.
Kulihat Virland dan adiknya juga masih ada di depan gerbang sekolah.
"Virland, kamu juga belum dijemput?" tanyaku.
"Iya. Kamu sepertinya sering dijemput paling akhir, ya?" Virland tengah asyik memberi makan kucing kecil berwarna hitam abu itu.
Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan Virland. Ternyata ia selama ini memperhatikaku.
“Bolehkah aku ikut memberi makan?” Aku ikut berjongkok bersama mereka.
Mereka terlihat bahagia sekali ketika sedang memberi makan kucing. Sesekali mereka mengelus-elus kepala dan leher si kucing.
"Kenapa nggak kamu bawa pulang aja, Vir?" tanyaku.
"Papa tidak memperbolehkan kami merawat kucing lagi." Virland menggendong kucing di dekapannya.
"Kok, bisa begitu? Berarti kamu dulu pernah punya kucing, dong?" Kuperhatikan adik Virland yang sedari tadi hanya diam.
"Karena tidak ada yang bisa merawatnya. Di rumah nggak ada orang. Dulu ada Mama yang merawat dan menjaganya sewaktu kami sekolah, sekarang tidak ada Mama." Ada sedikit bulir bening di kedua mata teman sekelasku ini.
"Alasan lainnya karena kucing juga mengingatkan kami pada Mama."
Aku menjadi sedikit bersalah karena terus menanyakan tentang kucing. Aku sendiri belum diperbolehkan merawat hewan peliharaan apa pun karena dianggap belum mampu bertanggung jawab.
"Berarti yang sering adikmu bawa sepulang sekolah itu makanan kucing?" Aku melihat bungkusan hitam di tangan kiri anak laki-laki bertubuh mungil itu.
"Iya. Dia selalu menyisihkan uang saku dan meminta bantuan Bu Siti untuk belanja makanan kucing." Adik Virland tersenyum mendengar sanjungan kakaknya.
Aku kagum pada jiwa sosial mereka berdua. Mereka menunjukkan kasih sayang yang luar biasa kepada hewan.
"Vir, aku boleh tanya nggak?" Kuambil kucing kecil itu dari dekapan Virland.
"Tanya tentang apa?" Virland bertanya balik padaku.
"Aku takut kamu jadi sedih kalau aku tanya beneran. Emmm … kamu boleh tidak menjawabnya, kok." Kuelus kepala kucing dengan tangan kiriku.
Kuperhatikan mimik wajah Virland, berharap ia tidak akan bertambah sedih.
"Apa ada hubungan meninggalnya mamamu dengan Edo?" Aku sedikit lancang menanyakan kematian mamanya.
Virland terlihat ragu untuk menjawab pertanyaanku. Ia memperhatikan adiknya yang sepertinya pura-pura tidak mendengarnya.
"Aku bingung mau cerita apa tidak. Soalnya adikku yang paling terpukul dengan kepergian Mama." Pandangan kosong terlihat di mata Virland.
Teeet … teeet ….
Suara bel motor jemputan Virland dan adiknya datang.
"Fawwas, aku pulang dulu, ya? Maaf, aku belum bisa cerita ke kamu. Insya Allah kapan-kapan aku ceritain." Virand melambaikan tangan kanannya.
"Oke. Hati-hati di jalan." Aku pun membalas lambaian tangannya.
Dari arah yang sama, datanglah Mama dengan sepeda motor matic warna merah kesayangannya.
Mama menyodorkan helm padaku.
"Ma, boleh nggak, kalau aku pelihara kucing kecil ini?" Kutunjukkan kucing kecil yang sedari tadi masih di gendonganku.
"Yakin, kamu bisa merawatnya? Kalau kamu yakin, boleh dibawa. Dengan catatan, kamu yang harus bertanggung jawab dengan nasib kucing kecil itu." Mama menunjuk kucing yang sudah tertidur pulas.
"Berarti boleh dibawa pulang, ya, Ma?" tanyaku penuh bahagia.
Mama mengangguk.
"Kucing itu hewan kesayangan Nabi Muhammad Saw. Dengan merawatnya, kamu bisa belajar bertanggung jawab.”
“Berarti Nabi pernah memelihara kucing, ya, Ma?” Aku penasaran dengan cerita Mama.
“Nanti Mama ceritain kalau kita sudah sampai rumah, ya, Sayang.” Mama memintaku segera naik ke sepeda motor.
Sepanjang jalan aku membayangkan betapa serunya punya hewan peliharaan.
“Mama, katanya mau cerita tentang kucing Nabi. Ayo, Ma!” rengekku setelah selesai makan.
“Bentar, ya, Sayang. Mama rapiin meja makan dulu. Fawwas juga belum salat, kan? Salat dulu, gih!” Mama membawa piring kotor ke dapur.
Aku beranjak ke kamar untuk melaksanakan salat Zuhur.
Tok ... tok .... tok ....
Mama mengetuk pintu kamarku.
“Sudah selesai salat, Sayang?” Mama menghampiriku yang baru selesai melipat sarung.
“Alhamdulillah, sudah, Ma.”
“Mama cerita sekalian kamu siap-siap tidur siang, ya? Anggap sebagai cerita pengantar tidur siangmu.”
Aku tersenyum menanggapi Mama. Jarang sekali Mama bercerita seperti ini.
“Nabi mempunyai kucing yang bernama Mueeza, suatu saat, di kala Nabi Muhammad Saw hendak mengambil jubah, Mueeza sedang terlelap tidur di atas jubah Beliau. Karena tidak ingin mengganggu hewan kesayangannya itu, Nabi pun memotong belahan lengan yang ditiduri Mueeza dari jubahnya.”
“Kenapa nggak disuruh pergi aja, Ma? Bukannya masih bisa diusir dengan halus?” tanyaku.
“Itu membuktikan, bahwa Nabi benar-benar menyayangi Mueeza,” lanjut Mama.
“Ketika Nabi kembali ke rumah, Muezza terbangun dan mendatangi Nabi. Nabi membalasnya dengan mengelus lembut badan mungil kucing itu sebanyak tiga kali. Itu tanda bahwa Nabi menyayangi hewan, bukan?” Mama melanjutkan ceritanya.
Aku mengangguk-angguk mendengar cerita Mama. Sebegitu sayangnya Nabi pada hewan peliharaannya.
“Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa barang siapa menyayangi meskipun terhadap hewan sembelihan, niscaya Allah akan merahmatinya pada hari kiamat.”
“Wah, Fawwas tambah semangat nih, Ma.” Aku mendongak melihat Mama yang sepertinya mulai mengantuk juga.
“Pesen Mama, tetep jaga kebersihan, terutama kandang untuk tidurnya! Perhatikan makanan dan minumannya juga!” Mama bersiap berdiri dari duduknya.
“Jazakillahu khoiron, Ma. Terima kasih. Thank you. Xie xie. Kamsahamnida, mamaku sayang.” Aku menggoda Mama dengan memamerkan ucapan terima kasih dari berbagai bahasa yang sudah aku kuasai.
“Dasar kamu, Sayang. Bisa juga cuma ucapan terima kasih. Semangat belajar kalimat lainnya juga, ya? Selamat tidur siang. Jangan lupa berdoa!” Mama mengecup keningku.
Labels:
Parade Cernak Baswara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar